REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kekecewaannya pada Pendidikan di negeri ini yang jauh tertinggal dari Negara lain mendorong Syahrial Yusuf mendirikan LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia). “Pendidikan kita sudah ketinggalan 25 tahun bila dibandingkan dengan pendidikan di Austalia dan Amerika, bahkan dari Malaysia. Kita sudah seperti tamu di rumah sendiri,” kata pendiri LP3I ini.
Sejak dibangku kuliah, pria Aceh ini memang tidak puas dengan sistem pendidikan Indonesia yang menurutnya tidak menjadi patokan mendapakan pekerjaan. Hal ini juga tertuang dalam skripsinya tahun 1987 yang diberi judul “Analisa Pengangguran di Indonesia.”
Banyaknya lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapat pekerjaan mendorong sayhrial mendirikan LP3I 29 Maret 1989. Bermula dari program kursus enam bulan, LP3I berkembang menjadi induk perusahaan dari unit bisnis pendidikan yang memakai merek LP3I.
Kini, dengan jumlah kampus tersebar di 48 lokasi di seluruh Indonesia, kiprah LP3I semakin diakui oleh masyarakat luas. Bukan hanya kursus, LP3I Grup juga telah memiliki berbagai lembaga pendidikan, mulai dari politeknik, pendidikan penempatan kerja, hingga kursus dan bimbingan belajar.
Bahkan LP3I Grup telah memiliki sejumlah perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK) Bina Sarana Global, STMIK Bidakara, Universitas Azzahra, ASMI Citra Nusantara, dan STIAMI (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia).
Sukses dengan LP3I, kini Syahrial ingin memperluas jaringan bisnisnya di beberpa sektor, antara lain kontraktor, perkebunan kelapa sawit, pengembang properti, perdagangan dan ekspor, biro perjalanan, hingga yayasan sosial nirlaba. “Seseorang tidak dapat dikatakan berhasil jika seseorang tersebut belum dapat memberikan manfaat bagi sesamanya. Untuk itu, kita senantiasa harus bisa memberikan manfaat bagi sesama,” kata pria yang bercita-cita mencetak 100 pengusaha ini.
“Office Boy” Meski telah mencetak 35 pengusaha sukses hingga saat ini, perjalanan hidup Syahrial cukup berliku. Setelah tamat dari SMP Pertamina Unit I, Aceh Timur, pada 1979, Syahrial kecil harus bisa hidup mandiri ketika menempuh sekolah menegah di Bandung.
Bermodalkan Prinsip kemandirian, kejujuranm dan keuletan jauh dari orang tua tidak menjadi masalah baginya. Di perantauan ia kerap menjalani pekerjaan, mulai dari Office Boy hingga berjualan. Bahkan, hal itu dijalaninya hinggga memasuki masa kuliahnya Fakultas Ekonomi Universitas di Padjadjaran (Unpad) Bandung tahun 1983.
Pekerjaan pertamanya di lakoninya sambil kuliah di CV Jati Utama Bandung dari 1983 hingga 1984. Status sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Padjadjaran tidak membuatnya malu harus bekerja sebagai Office boy di perusahaan tersebut. “Perkerjaan pertama saya di sana sebagai office boy, namun karena keuletan saya ketika disuruh ngerjain apa saja, saya selalu mengerjakannya dengan baik,” kenangnya. Hanya dalam delapan bulan, dia sudah dipercaya menjadi kepala bagian akuntasi merangkap bagian pemasaran.
Meski pekerjaan pertamanya banyak memberi pengalaman, keinginannya menjadi seorang pengusaha berawal dari kesuksesannya mengurus Kopma (Koperasi Mahasiswa) Unpad di 1986. Ketika itu, dia mampu mengubah koperasi yang awalnya meiliki utang 12 juta rupiah menjadi koperasi yang mencetak laba hingga ratusan juta rupiah. “Waktu itu, saya sering mengikuti beberapa tender yang dilakukan Unpad. Di antaranya untuk pengadaan toga, waktu itu saya berhasil mencetak laba 75 juta rupiah,” kata Syahrial.
Dua tahun bermodalkan keberhasilan inilah dia akhirnya berani mendirikan LP3I setelah lulus dari Unpad tahun 1987. Awalnya dia hanya bermodalkan 22 komputer, satu sepeda motor, serta sebuah ruangan ber-AC.
Teladan Ibu, keberhasilan Syahrial saat ini, diakuinya, tidak terlepas dari nilai-nilai yang diajarkan oleh ibunya. Ibu, bagi Syahrial, merupakan sosok utama dari keberhasilan dirinya saat ini. Anak ketujuh dari Sembilan bersaudara ini sangat mengidolakan dan menghormati ibunya, Nur Aida Naim, yang telah berjuang mengahadapi kesembilan anaknya hingga dewasa tanpa bantuan suami.
Sebelumnya, sang ayah telah terlebih dahulu dipanggil Sang Pencipta pada saat usia Syahrial baru empat tahun. “Beliau sudah berhasil menghidupi kesembilan anak-anaknya, termasuk saya, dengan hanya bekerja serabutan kadang-kadang ibu saya berjualan kue dan lainnya,” tutur Syahrial yang kerap membantu ibunya berjualan ketika kecil. (adv)