REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menanggapi gugatan class action yang dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) ke PN Surabaya, atas penutupan lokalisasi Dolly. Risma menegaskan, penutupan lokalisasi Dolly bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kebaikan seluruh warga Surabaya.
"Ini bukan untuk Risma saja. Ini untuk warga Surabaya. Karena anak dari Dolly itu sekolah di tempat lain, dia akan memengaruhi anak lain. Kalau ini kita putus, kita stop ini akan berhenti," kata Risma di Surabaya, Jumat (7/9).
Risma malah mempersilahkan pihak-pihak yang masih mempermasalahkan penutupan lokalisasi Dolly tersebut untuk membunuhnya apabila dirasa, penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu dirasa hanya untuk kepentingan pribadi Risma.
"Kalau memang mau itu (lokalisasi Dolly kembali berjalan), bunuh saya. Biar selesai gak apa-apa. Tapi saya tidak ikhlas. Kalau itu dilanjutkan kita (Surabaya) akan lost generation," ujar Risma.
Warga eks lokalisasi Dolly yang menamakan diri Forum Komunikasi Warga Jarak-Dolly (Forkaji) dan Gerakan Umat Islam Bersatu Jawa Timur (GUIB Jatim) kembali menggelar aksi di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (3/8). Aksi tersebut merupakan reaksi atas gugatan class action yang dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) ke PN Surabaya, atas penutupan lokalisasi Dolly.
Risma juga mengaku dirinya tidak ingin dielu-elukan sebagai orang yang berhasil menutup lokalisasi Dolly. "Ini bukan untuk saya. Kalau perlu gak usah ditulis itu Risma (berhasil menutup lokalisasi Dolly), gak perlu. Saya gak butuh terkenal itu. Tapi ini adalah untuk anak-anak, bukan di Dolly saja, tapi anak-anak Surabaya," kata Risma.
Wali kota perempuan pertama di Kota Pahlawan itu pun bersyukur lantara gugatan class action yang dilayangkan ditolak PN Surabaya. Risma mengingatkan warganya ada yang harus diselamatkan yaitu generasi muda.
"Karena masa depan bangsa ini di tangan anak-anak itu. Kalau kemudian anak se-Surabaya punya masalah bagaimana kita bisa menang dengan bangsa-bangsa lain," kata Risma.
Sebelumnya, gugatan class action ke Pemkot Surabaya dan Satpol PP dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL). Mereka yang mengklaim mewakili warga Dolly dan Jarak di Putat Jaya, Kecamatan Sawahan mengajukan gugatan lebih Rp 270 Miliar.
Class action itu ditujukan untuk Wali Kota Tri Rismaharini dan Kasatpol PP Surabaya Irvan Widyanto. Angka itu berdasarkan penghasilan warga yang hilang akibat penutupan lokalisasi pada Juni 2014. Mereka terdiri dari perwakilan pedagang kaki lima, juru parkir, SPG, pekerja operatordan lain-lainnya. Semuanya, kata Pokemon, ada 150 orang.
Pemkot Surabaya dituding telah melakukan perampasan hak ekonomi dengan cara penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak tanpa ada persiapan dan konsep peralihan sumber kehidupan. Masyarakat disebut telah kehilangan mata pencaharian atau menurunnya penghasilan.
Namun, gugatan tersebut ditolak majelis hakim pada PN Surabaya. Majelis hakim berpendapat, gugatan yang dilayangkan para penggugat tidak memenuhi syarat.