REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima uang sekitar Rp 700 juta yang dikembalikan Partai Golkar terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. Uang yang dikembalikan seorang pengurus Partai Golkar beberapa hari lalu itu, kemudian disita penyidik dan masuk dalam berkas perkara dugaan suap yang menjerat mantan sekjen Partai Golkar Idrus Marham, serta mantan wakil ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih.
Pengembalian uang ini semakin membuktikan pernyataan Eni yang menyebut adanya aliran dana dari suap proyek PLTU Riau-1 ke Munaslub Partai Golkar. Eni sebelumnya menyebut terdapat uang Rp 2 miliar yang mengalir dari proyek tersebut untuk kepentingan Partai Golkar. Meski nilainya lebih kecil ketimbang pernyataan Eni, KPK menghargai sikap koperatif yang ditunjukkan Golkar ini.
"Memang ada pengembalian dari salah satu pengurus Partai Golkar sekitar Rp 700 juta. Sejauh ini yang diakui sebagai bagian dari uang suap PLTU Riau 1. Dan kami sita sebagai bagian dari berkas perkara yang sedang diproses saat ini. Yang sedang berjalan dua orang. Di tahap penyidikan yaitu EMS dan IM. Sedangkan JBK sudah dilakukan pelimpahan," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Kamis (13/9).
Febri juga mengimbau kepada semua pihak jika pernah menerima aliran dana PLTU Riau 1 agar segera mengembalikan ke KPK. "Kalau ada pihak lain yang diduga menerima aliran dana PLTU Riau-1 akan lebih baik dikembalikan pada KPK karena hal tersebut akan berkomtribusi pada penanganan perkara," ucap Febri.
Dengan bukti yang semakin kuat ini, KPK bakal terus menelusuri aliran dana dari proyek senilai 900 juta dolar AS tersebut. Hal ini mengingat nilai suap yang sudah diterima Eni dari Kotjo mencapai Rp 4,8 miliar.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka. Yaitu, Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih, bos Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo dan teranyar Idrus Marham.
Diduga saat menjabat sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar periode November sampai dengan Desember 2017 dan Menteri Sosial, Idrus diduga mengetahui dan memiliki andiI terkait dengan penerimaan uang oleh Eni dari Johannes. Diketahui, sekitar November Desember 2017 diduga Eni menerima Rp 4 miliar. Lalu, sekitar bulan Maret dan Juni 2018 diduga Eni menerima sekitar Rp 2,25 miliar lagi.
Idrus juga diduga berperan mendorong agar proses penandatanganan Purchase Power Agreement (PPM/jual beli dalam proyek pembangunan) PLTU mulut tambang Riau 1. Selain itu, Idrus juga diduga telah menerima janji untuk mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni sebesar 1,5 juta dolar AS yang dijanjikan Johannes apabila PPA Proyek PLTU Riau 1 berhasil dllaksanakan oleh Johannes dan kawan-kawan.
Dalam penyidikan perkara awal yang sudah dilakukan sejak 14 Juli 2018 hingga hari ini sekurangnya penyidik telah memeriksa 28 orang saksi. Atas perbuatannya, Idrus disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHPJuncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.