REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) soal napi korupsi mencerminkan bagaimana peradaban politik di Indonesia. Yang karenanya akan menentukan bagaimana nasib bangsa ini kedepan.
Menurut Saut, kemajuan peradaban perpolitikan di setiap negara memiliki jalannya masing-masing. Yang mana maju atau tidaknya peradaban politiknya ditentukan oleh tokoh -tokoh di negara tersebut dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas mereka.
“Peradaban politik tiap negara memiliki jalannya sendiri-sendiri dan banyak ditentukan oleh bagaimana tokoh-tokoh di negara itu (dalam) mengusung nilai-nilai integritas untuk diri dan rakyatnya,” kata Saut kepada Republika.co.id, Ahad (16/9).
Begitupun lanjut Saut, dengan putusan MA yang telah membolehkan eks napi korupsi menjadi calon legislatif. Maka putusan tersebut juga mencerminkan bagaimana kondisi peradaban hukum Indonesia.
“Putusan itu bagian dari peradaban hukum kita yang perlu dinilai dan dihargai. Dinilai karena peradaban politik kita masih seperti itu, mau apalagi,” ucapnya.
Oleh karena itu, mau tidak mau KPK harus menghormati putusan MA tersebut. Serta menghargai putusan yang telah diambil oleh lembaga tinggi negara itu.
“Dihargai karena memang datang dari lembaga yang kompeten untuk memutuskan beda pandang tentang cara kita melihat seseorang yang telah bertanggungjawab atas kesalahannya,” tutur Saut.
Oleh karena itu tambah Saut, antara peraturan KPU yang melarang eks napi koruptor menjadi caleg dan putusan MA yang membolehkan agar dikembalikan saja kepada internal orang yang bersangkutan serta partai politik itu sendiri. Apakah akan melanjutkan atau memilih untuk memulai membuat bersih negeri ini.
“Kembalikan saja pada semangat internal setiap parpol seperti apa, lalu biar nanti rakyat pemilih yang menilai,” tuturnya.
Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan mantan narapidana kasus korupsi diizinkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Hal itu setelah MA mengabulkan permohonan atas gugatan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 dan 26 Tahun 2018.
Juru Bicara MA Suhadi membenarkan MA telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Menurut MA, dua nomor PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan, Jumat (14/9).
Dengan demikian, aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.