Senin 17 Sep 2018 17:03 WIB

Autopsi dalam Tinjauan Syariah

Meski ada perbedaan pendapat, MUI membolehkan autopsi dengan beberapa syarat.

Autopsi (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Str-Suriani Mappong
Autopsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghormatan Islam kepada jenazah sama hukumnya dengan penghormatan kepada orang yang masih hidup. Tubuh jenazah tak boleh disakiti atau dilukai.

Rasulullah SAW bersabda, "Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup." (HR Abu Daud dan Ahmad). Namun, adakalanya proses autopsi diperlukan untuk beberapa alasan.

Secara umum, ada tiga jenis autopsi berdasarkan kepentingannya masing-masing. Pertama, autopsi anatomis, yaitu autopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. Kedua, autopsi klinis, yaitu autopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit sebelum mayat tersebut meninggal.

Ketiga, autopsi forensik, yakni autopsi yang dilakukan penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan. Tujuannya untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.

Dalam kajian fikih, autopsi dikenal dengan istilah at-tasyrih. Secara umum, seluruh ulama bersepakat mengharamkan pembedahan jenazah tanpa tujuan yang syar'i. Adapun tindakan autopsi pada jenis-jenis di atas, para ulama berbeda pendapat dari segi hukumnya.

Pendapat pertama, kalangan ulama yang memperbolehkan ketiga jenis autopsi tersebut. Mereka berpendapat, ada aspek kemaslahatan dalam tindakan autopsi tersebut dalam berbagai bidang, seperti keamanan, keadilan, dan kesehatan.

Pendapat ini dikemukakan ulama Mesir Syekh Hasanain Makhluf, ulama Suriah Syekh Sa'id Ramadhan al-Buthi, serta beberapa lembaga fatwa, seperti Majma' Fiqih Islami OKI, Hai'ah Kibar Ulama Arab Saudi, dan Fatwa Lajnah Da'imah Arab Saudi.

Pendapat kedua mengharamkan autopsi secara mutlak, walau dengan tujuan-tujuan seperti yang disebutkan dalam tiga jenis autopsi di atas. Pendapat ini dikemukakan ulama asal Palestina, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, Syeikh Bukhait al-Muthi'i, dan Hasan As-Saqaf.

Mereka beralasan, autopsi, apa pun jenisnya, telah melanggar kehormatan mayat yang sangat dijaga dalam Islam. Demikian disebutkan Al-Syinqithi dalam Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah.

Pendapat ketiga menyatakan, autopsi hanya diharamkan kepada jenazah orang Islam. Jadi, kehormatan yang dijaga sebagaimana dimaksudkan hadis yang dijadikan dalil hanya spesifik bagi kaum Muslimin saja.

Pendapat ini ditemui dalam Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah yang ditulis Al-Syinqithi dan kitab Ahkam Al-Jana'iz oleh Nashiruddin Al-Albani. Ada banyak hadis-hadis sahih yang secara tegas melarang umat Islam melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya, dan sebagainya.

Selain itu, pendapat ketika ini berdalil dengan kaidah ushuliyah yang berbunyi, "Al muthlaqu yajriy 'alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu 'ala at taqyiid" (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan (muqayyad)).

Ahli fikih kelompok ini menyimpulkan, autopsi hukumnya haram jika mayatnya Muslim. Sedangkan jika mayatnya non-Muslim, hukumnya boleh.

Pendapat keempat, sebagaimana difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan tiga jenis autopsi tersebut dengan beberapa persyaratan. Dalam fatwa MUI No 6 Tahun 2009 tentang Autopsi Jenazah disebutkan, pada dasarnya autopsi jenis forensik dan autopsi klinis diharamkan. Tapi, ada beberapa syarat tertentu yang menjadikannya boleh dilakukan.

"Autopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu," bunyi putusan fatwa tersebut. Artinya, ada pengecualian dari hukum asal yang mengharamkan autopsi. Menurut fatwa MUI, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan autopsi menjadi boleh.

Pertama, autopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar'i. Misalnya, mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran. Jadi, penyelenggaraan autopsi harus resmi dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya.

Kedua, autopsi merupakan jalan keluar satu-satunya. Ketiga, jenazah yang telah diautopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Keempat, jenazah yang akan dijadikan objek autopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan atau izin dari pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement