REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan yang sempurna. Salah satu perbuatan yang disukainya adalah zuhud.
Definisi zuhud tidak sama dengan menghindari kehidupan duniawi sama sekali atau meniadakan hawa nafsu. Islam melarang rahbaniyah atau jalan hidup kependetaan yang menghalang-halangi orang dari fitrah kemanusiaannya, semisal menikah dan mengejar harta melalui perniagaan.
Ahmad Muhammad al-Hufy dalam kitab Min Akhlaqin Nabiy menerangkan, zuhud berarti tidak berhasrat pada hal-hal yang dibolehkan ketika pelakunya mampu memerolehnya. Pengertian lainnya adalah mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri sendiri.
Rasulullah SAW sudah condong pada kezuhudan bahkan sebelum menerima risalah kenabian. Sebagai seorang pedagang yang sukses, bereputasi baik, dan kaya, beliau ternyata gemar meringankan beban orang lain, alih-alih menumpuk harta.
Pada masa dakwah Islam di Makkah, Nabi SAW ikut mengalami sulitnya kehidupan. Umpamanya ketika kaum Muslimin diboikot mayoritas penduduk setempat yang masih musyrik. Beliau tidak pernah meninggalkan para pengikutnya sendirian. Bersama-sama dengan mereka, beliau merasakan getirnya boikot itu.
Di Madinah, Nabi SAW naik status menjadi pemimpin masyarakat. Pada prinsipnya, beliau berhak menerima harta dalam jumlah besar. Dalam hal harta rampasan perang, misalnya, Alquran berketentuan Rasulullah SAW mendapatkan seperlima dari total rampasan perang. Jatah itu termasuk diperuntukkan bagi keluarganya, anak-anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil.
Ada pula al-fai', yaitu harta yang diperoleh tanpa melalui peperangan. Imam Syafii menjelaskan, harta fai' dibagi menjadi lima. Bagian pertama untuk Rasulullah SAW serta dibelanjakan demi keperluannya. Adapun sisanya, empat per lima digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Di luar itu, Nabi SAW juga menerima pelbagai hadiah dari para penguasa. Jumlahnya tentu tidak sedikit.
Baca juga: Tuntunan Rasulullah SAW untuk Orang yang Berutang
Akan tetapi, Rasulullah SAW memilih kesederhanaan. Suatu kali, beliau bersabda, "Aku tidak akan senang mempunyai emas sebesar Gunung Uhud. Tidak ada dinar emas yang kusimpan kecuali satu dinar yang kusiapkan untuk melunasi utangku."
Pernah beliau menerima dinar dalam jumlah yang sangat banyak. Maka hampir seluruhnya dibagi-bagi. Sisanya sebesar enam dinar diberikannya kepada istrinya.
Ternyata, Nabi SAW tidak bisa tidur sepanjang malam karena terbayang-bayang uang di tangan istrinya itu. Lantas beliau memerintahkan sang istri untuk menyedekahkan dinar itu kepada orang yang lebih memerlukan. Sesudah itu, beliau dapat tidur dengan tenang.
Suatu kali, raja Bahrain mengirimkan kepadanya hadiah yang terhitung paling banyak bila dibandingkan dengan hadiah yang pernah diterimanya selama ini. Nabi SAW keluar dari rumahnya untuk memimpin shalat berjamaah tanpa sedikit pun menoleh pada hadiah itu. Setelah selesai shalat, beliau duduk dan memberikan hadiah itu kepada siapa pun yang lewat di depan rumahnya.
Sikap zuhud juga diamalkannya ketika menerima tamu. Seperti diriwayatkan Abu Rafi', suatu ketika Rasulullah SAW menerima seorang tamu padahal, hampir tidak ada suguhan untuk dapat dinikmati tamu itu. Maka beliau mengutus Abu Rafi' untuk membawa pesan kepada seorang Yahudi di Khaibar.
"Sudikah kiranya engkau memberikan pinjaman kepada Muhammad, atau maukah engkau menjual gandum kepadanya tetapi dibayar nanti pada awal Rajab?" Ternyata, pengusaha Yahudi itu meminta jaminan.
Abu Rafi' pun bergegas menemui Rasulullah SAW dan mengabarkannya. Beliau berkata, "Demi Allah, aku orang yang dapat dipercaya oleh penghuni langit dan bumi. Jika dia ingin menjual kepadaku atau memberikan pinjaman, aku akan membayarnya tepat waktu. Pergilah lagi kepadanya, sahabat, dan bawalah baju perang milikku." Nabi SAW rela menjadikan hartanya jaminan utang hanya untuk bisa memberikan jamuan kepada tamunya.