Ahad 23 Sep 2018 10:54 WIB

Membandingkan Lemahnya Rupiah pada 1998 dan 2018

Lemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini loncatannya tidak terlalu jauh

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Rupiah Melemah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Rupiah Melemah

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan banyak menuai perbincangan publik. Kondisi nilai tukar yang hampir Rp 15 ribu per dolar AS itu banyak dikhawatirkan sama dengan kondisi 1998 dulu.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono mengatakan, kondisi itu banyak membuat masyarakat khawatir terjadinya krisis. Tapi, ia berharap kondisi itu bisa dilihat seksama.

Ia menjelaskan, dulu angka Rp 15 ribu pada 1998 terjadi pada 15 Januari 1998. Angka itu mengalami loncatan sangat jauh dari Oktober 1997 yang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya berada di angka Rp 2.300.

Sedangkan, lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini, terjadi dengan loncatan yang tidak terlalu jauh. Pasalnya, angka hampir Rp 15 ribu pada September itu naik sekitar 1.300 dari Rp 13.700 pada awal tahun.

Bahkan, Tony mengingatkan, belakangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mulai stabil yang angkanya bergerak sekitar Rp 14.800 sampai Rp 14.900. Hal itu jadi pembeda kondisi 1998 dan 2018.

"Jangan lihat angka, angka boleh sama tapi suasananya beda," kata Tony saat mengisi Kafe BCA on the Road di Sleman, Sabtu (22/9).

Lalu, dari sisi inflasi. Pada 1998, inflasi tercatat mencapai 78 persen. Tapi, saat ini inflasi jauh lebih rendah yaitu 3,2 persen. Hal berbeda terlihat pula dari pertumbuhan ekonomi.

Pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut sampai minus 13,7 persen. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidaknya sampai kuartal dua tahun ini masih sebesar 5,27 persen.

Perbedaan terjadi pula dari sisi perbankan. Tony menerangkan, pada 1998 hampir semua bank di Indonesia kolaps. BCA misalnya, sebagai lokomotif bank swasta, disuntik pemerintah sampai Rp 60 triliun.

Saat ini, cuma ada dua bank yang mengalami kesulitan, Muamalat dan Bukopin. Tony memperkirakan, kalaupun pemerintah harus melakukan suntikan, dananya tidak sangat jauh dari 1998.

"Kalau dugaan saya Muamalat hanya Rp 4-8 triliun dan Bukopin Rp 1,2 triliun," ujar Tony.

Untuk itu, ia menegaskan, hampir dari segala segi kondisi ekonomi Indonesia 2018 memiliki perbedaan dengan 1998. Karenanya, Tony memperkirakan kondisi ekonomi saat ini tidak akan sampai menjadi krisis seperti 1998.

Meski begitu, ia membenarkan jika banyak masalah-masalah yang harus pemerintah selesaikan. Menutup defisit BPJS Kesehatan, mengherem belanja APBN, sampai menghentikan pembangunan infrastruktur.

Seperti yang dilakukan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad yang datang ke Cina untuk menghentikan pembangunan kereta cepat, Indonesia dirasa memiliki proyek-proyek yang sama yang harus dihentikan.

Tony turut menyarankan agar Bank Indonesia segera menaikkan suku bunga. Pasalnya, jika sekarang suku bunga ada di 5,5 persen, ia merasa kondisi itu belum mampu menahan orang memborong dolar AS.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement