REPUBLIKA.CO.ID, ACEH –Bank Indonesia (BI) mewaspadai potensi perlambatan pertumbuhan ekspor Indonesia, akibat kebijakan proteksionisme Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal itu berkaitan dengan aktivitas dagang dengan China yang berpotensi akan terganggu karena penerapan tarif dagang yang tinggi dari AS.
“Di satu sisi memang ada risiko, terutama terkait dengan Tiongkok. Tiongkok itu mitra dagang utama kita, sehingga yang terjadi dengan Tiongkok tentunya akan berpengaruh ke kita. Risikonya bisa dari ekspor kita yang melambat, karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat,” kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia Juli Budi Winantya dalam acara Pelatihan Wartawan BI di Banda Aceh, Jumat (7/2/2025).
Juli mengatakan, adanya perang dagang AS terhadap China akan membuat produk-produk China tidak lagi fleksibel dapat diekspor ke AS. Hal itu bisa berpotensi membuat produk China makin membanjiri Indonesia.
“Risiko kedua, karena produk Tiongkok itu tidak bisa dijual lagi ke Amerika Serikat, sehingga bisa juga jadi membanjiri masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Kondisi pertumbuhan ekspor Indonesia dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, baru-baru ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tercatat, angka pertumbuhan ekonomi pada 2024 mencapai 5,03 persen, lebih rendah dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2023 sebesar 5,05 persen.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan faktor yang menyebabkan penurunan tersebut adalah angka net export pada 2024 yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. “Kalau lihat dari grafik source of growth (sumber pertumbuhan ekonomi), satu komponen yang menahan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi adalah net export,” kata Amalia dalam konferensi pers Pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan IV 2024, Rabu (5/2/2025).
Berdasarkan data sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024, komponen konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebenarnya lebih tinggi dari 2023. Yakni sebesar 2,60 persen pada komponen konsumsi rumah tangga, lebih besar dibandingkan pada 2023 di angka 2,55 persen. Lalu angka kontribusi PMTB pada 2024 sebesar 1,43 persen, naik dibandingkan pada 2023 sebesar 1,18 persen.
Kemudian, tercatat komponen konsumsi pemerintah berkontribusi hingga 0,48 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2024, lebih besar dibandingkan pada 2023 di angka 0,22 persen. Adapun untuk komponen lainnya tercatat berkontribusi sebesar 0,53 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2024, sedikit lebih tinggi dibandingkan pada 2023 di angka 0,44 persen.
Sementara itu, satu komponen yang tercatat minus adalah net export. Padahal pada 2023 angka net export tercatat sebesar 0,66 persen. “Sehingga dengan sumbangan terhadap pertumbuhannya itu, jadi ini (net export) jadi salah satu faktor yang agak menahan dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," katanya.