REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menurunkan tim untuk memetakan kerusakan geologis akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng). Kepala PVMBG Kasbani mengatakan, timnya saat ini sedang dalam perjalanan menuju Kota Palu untuk menganalisis rekahan, retakan, dan likuifaksi yang timbul akibat gempa berkekuatan 7,4 skala Richter (SR) pada Jumat (28/9).
"Jadi tim kami sedang ke sana, nanti mereka akan memetakan kerusakan geologis seperti rekahan, retakan, likuifaksi. Ini penting untuk digunakan dalam rekonstruksi dan rehabilitasi," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/10).
Ia mengatakan, peta itu nantinya akan digunakan untuk merencanakan pembangunan selanjutnya. Dengan begitu, daerah yang terkena rekahan, retakan, atau likuifaksi, tidak lagi dijadikan lokasi pendirian bangunan.
Kasbani mengatakan, PVMBG sebenarnya telah menerbitkan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) untuk setiap provinsi di Indonesia. Tak hanya peta KRB gunung api, melainkan juga gempa bumi dan tsunami.
"Itu bisa diunduh di website PVMBG ada petanya per provinsi," ujar dia.
Namun, kata dia, dalam peta KRB yang diterbitkan PVMBG tidak ada potensi likuifaksi. Menurut dia, peta KRB gempa bumi hanya membedakan kawasan rawan bencana gempa tinggi, menengah dan rendah.
Meski begitu, ia menyebut Kota Palu sebagai salah satu wilayah yang rawan bencana gempa bumi tinggi. Artinya, daerah itu berpotensi mengalami guncangan dengan skala di atas VIII MMI (Modified Mercalli Intensity) ketika terjadi gempa.
"Bangunan yang tidak memenuhi standar teknis bisa roboh," ujar dia.
Sementara untuk kejadian likuifaksi, kata Kasbani, akan dipetakan sesuai temuan tim PVMBG. Pasalnya, likuifaksi baru akan terlihat setelah kejadian gempa.
Menurut dia, hingga saat ini belum ada peta khusus likuifaksi di wilayah Indonesia. "Setelah ini baru dipetakan, karena likuifaksi baru ketahuan setelah terjadi gempa. Likuifaksi itu bisa terjadi di daerah yang bebatuannya itu lemah, batuan gembur. Tanah yang tidak termasuk batuan yang keras, tapi tidak semuanya terjadi likuifaksi," kata dia.
Ia menjelaskan, likuifaksi juga terjadi ketika gempa bumi di Lombok. Menurut dia, likuifaksi bisa terjadi karena goncangan menerjang tanah yang sifatnya tidak terkonsolidasi dengan baik. Alhasil, timbul lumpur atau cairan ke permukaan melalui rekahan yang ada dalam struktur tanah.
"Kalau terjadi likuifaksi, tanah tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menahan bangunan di atasnya. Daya dukungnya berkurang sehingga bangunan di atasnya itu bisa ambles atau roboh," kata dia.