Jumat 05 Oct 2018 21:03 WIB

Ketua KPK: Modus Korupsi di Daerah Sangat Mudah Dibaca

Terakhir, Wali Kota Pasuruan Setiyono terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Ketua KPK Agus Rahardjo
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua KPK Agus Rahardjo

REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, KPK sangat mudah menebak sebuah daerah telah terjadi korupsi atau tidak karena modusnya sangat mudah dibaca. Terakhir, Wali Kota Pasuruan Setiyono terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

"Sebagai contoh, masalah pengadaan barang, pemenang lelang maupun mutasi jabatan. Karena itu, harus benar-benar hati-hati dalam menggunakan anggaran negara jika tidak ingin berurusan dengan hukum," kata Agus Raharjo pada acara Roadshow di Kota Pekalongan, Jumat (5/10).

Namun, kata dia lagi, KPK tidak bisa bertindak tanpa mendapatkan dua barang bukti yang cukup. Sehingga, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan guna membersihkan kasus korupsi di negeri ini.

"Kami baru saja kembali mengungkap korupsi yang terjadi di Ambon dan Pasuruan (Jawa Timur), semoga tidak ada lagi kepala daerah yang ditangkap KPK," katanya pula.

Menurut dia, sebenarnya KPK bukan hanya melakukan penindakan. Namun, juga mensosialisasikan terkait antikorupsi.

"Bahkan anggaran kami terbanyak adalah untuk melakukan sosialisasi dari pada penindakan. Yang paling berbahaya lagi adalah teman dekat dari seorang kepala daerah karena kebanyakan yang melaporkan (kasus korupsi) adalah orang-orang di sekitar kepala daerah," katanya pula.

Agus mengatakan, sebanyak 7.000 laporan terkait kasus korupsi antara lain berasal dari istri wali kota, sekretaris daerah (sekda) hingga kepala Bappeda. Artinya, pelaporan biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat kepala daerah.

"Kemudian setelah kami pelajari dan melakukan pantauan dari laporan tersebut, terjadilah yang dinamakan operasi tangkap tangan," katanya lagi.

Agus Rahardjo menyampaikan negara menyediakan hadiah uang bagi warga yang melapor atas tindakan korupsi senilai 0,02 persen dari total jumlah kerugian negara.  Ketentuan itu, menurutnya, diatur dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksana Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Uang hadiah itu bisa diperoleh setelah proses hukum kasus yang dilaporkan memiliki kekuatan hukum tetap dan kerugian negara sudah diperoleh kembali. Sebenarnya aturan hadiah sudah ada sejak lama, namun pemerintah masih harus secara gigih menyebarluaskan pada masyarakat supaya aktif berpartisasi dalam pemberantasan korupsi dengan menghimpun informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat," katanya pula.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement