REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, sebagai negara rawan bencana, mitigasi penting dilakukan, baik dari aspek teknis maupun finansial, agar rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana tidak hanya bergantung pada APBN. Hal itu dikatakan Basuki saat menjadi pembicara acara High Level Dialogue on Disaster Risk Financing and Insuring (DRFI) in Indonesia: The National Strategy to Build Fiscal Resilience, di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10).
Menurut Basuki, peningkatan investasi dan pendanaan untuk mengurangi risiko bencana sesuai dengan kesepakatan internasional Sendai Framework for Disaster Risk Reduction. Sekitar 90 persen anggaran penanggulangan bencana dialokasikan untuk tahap tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, sementara anggaran untuk pencegahan dan persiapan prabencana apabila terjadi bencana masih sangat kecil sekitar 10 persen.
“Sebagai contoh mitigasi bencana banjir dan kekeringan melalui pembangunan bendungan, normalisasi sungai, dan pengaman pantai hendaknya tidak dimaknai sebagai biaya, namun investasi masa depan,” ujar Basuki.
Basuki menambahkan, pendekatan "build back better" dimaksudkan sebagai upaya mitigasi bencana karena tidak hanya sekadar membangun kembali rumah atau bangunan yang hancur dengan risiko yang sama, tetapi membangun masyarakat yang tangguh bencana agar risiko bencana berkurang secara signifikan.
Oleh sebab itu, kata Basuki, rehabilitasi dan rekonstruksi di Palu tidak hanya membangun kembali rumah yang rusak pada area terdampak. Kementerian PUPR merencanakan membangun kembali Kota Palu yang baru yang lebih tangguh terhadap bencana.
“Masterplan, termasuk rencana relokasi permukiman, tengah disusun oleh Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Bappenas, BMKG, dan pemerintah setempat. Inilah build back better,” tutur Basuki.
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dalam acara yang sama mengatakan, kemampuan Indonesia dalam penanganan bencana telah diakui dunia. Salah satunya metode Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) yang dilakukan pascagempa Yogyakarta pada 2006.
Metode ini menempatkan komunitas sebagai aktor utama proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Komunitas tidak hanya membangun permukimannya kembali, tetapi juga menjadi komunitas yang kuat. Dari sisi biaya, pembangunan hunian pascabencana dengan metode Rekompak juga lebih hemat dibandingkan cara konvensional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga menjadi salah satu narasumber menyampaikan, dengan frekuensi dan besarnya bencana yang terjadi di Indonesia, pembangunan kembali berbagai kerusakan akibat bencana tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Mengingat belanja APBN sudah terikat dan dialokasikan untuk belanja rutin dan wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan transfer daerah.
Kementerian Keuangan telah menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana untuk mendukung terciptanya masyarakat dan pemerintah yang tangguh bencana. Saat ini pemahaman dan minat masyarakat dan pemerintah daerah terhadap asuransi bencana masih kurang. Padahal, aset yang terlindung asuransi akan lebih cepat dibangun kembali karena tidak bergantung pada APBN maupun bantuan pihak lain. "Tahun 2019 kita akan memulai mengasuransikan gedung-gedung pemerintah," kata Sri Mulyani menjelaskan.
Menurut Dirjen Cipta Karya Danis H Sumadilaga, masyarakat harus menyadari Indonesia merupakan negara rentan bencana. Mitigasi dapat dilakukan salah satunya pembangunan rumah yang memenuhi building code sehingga tahan terhadap guncangan gempa.
Upaya mitigasi lainnya adalah mematuhi zonasi yang telah ditetapkan, misalnya, zona rawan bencana, seperti sesar gempa, daerah sempadan pantai, atau daerah lereng yang tidak boleh dibangun rumah penduduk. "Dengan mitigasi tersebut otomatis akan mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana," papar Danis.
Indonesia juga berperan aktif dalam meningkatkan kemampuan dan berbagi pengalaman dalam penanganan bencana dengan menjadi anggota HELP (High Level and Leaders Panel), salah satu badan PBB di bidang sumber daya air dan bencana.