REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengingatkan kepada para kepala daerah untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara tepat waktu dan jujur. Mengingat dalam sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK, penyidik menemukan kepala daerah yang diduga menerima fee proyek secara berturut-turut.
"Dalam sejumlah OTT terhadap kepala daerah yang dilakukan KPK akhir-akhir ini, penyidik menemukan kepala daerah yang diduga menerima fee proyek secara berturut-turut dari tahun ke tahun sepanjang menjabat," ujar Febri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/10).
Atas dasar itu, KPK mengingatkan para kepala daerah, yang wajib melaporkan LHKPN, untuk melapor secara tepat waktu dan jujur. Hal tersebut, kata Febri, diharapkan dapat mencegah penumpukan harta yang tidak sebanding dengan penghasilan yang sah.
"Ini sangat kami sesalkan, dari aspek kekayaan yang dimiliki yang diduga tidak wajar dibanding penghasilan yang sah. Kami ingatkan untuk memperhatikan kepatuhan dan kebenaran dalam pelaporan kekayaanya," kata Febri.
Teranyar, KPK menduga Bupati Lampung Selatan periode 2016-2021, Zainudin Hasan, juga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perkara di Lampung Selatan. KPK menyita 13 aset milik Zainudin yang terdiri dari ruko, tanah, dan kendaraan.
"Dalam proses penyidikan tersebut, dari dugaan penerimaan Rp 200 juta saat operasi tangkap ta gan dilakukan, kami menemukan dugaan penerimaan fee proyek lain sejumlah total Rp 57 miliar," ungkap Febri.
Dalam jabatan sebagai bupati Lampung Selatan, KPK menduga Zainudin telah menerima dana melalui tersangka lainnya, Agus Bhakti Nugroho. Dana tersebut bersumber dari proyek-proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lampung Selatan.
"Diduga persentase fee proyek yang dalam tiga tahun tersebut sekitar 15-17 persen dari nilai proyek," terang Febri.
Zainudin diduga membelanjakan peberimaan dana-dana tersebut melalui Agus untuk membayar aset-aset berupa tahan dan bangunan serta kendaraan. Dalam membelanjakan aset-aset itu, Zainudin menggunakan nama keluarganya, pihak lain, atau perusahaan sebagai pemilik dari aset-aset tersebut.
KPK kemudian menemukan dugaan TPPU terhadap Zainudin, di mana dilakukan dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harga kekayaannya. Karena itu, KPK menyangkakan Zainudin melanggar pasal 3 Undang-Undang (UU) No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.