REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti belum adanya komitmen untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam visi dan misi dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Pilpres 2019. Dua pasangan calon, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, belum memasukkan isu HAM dalam visi misinya.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, di Jakarta, Jumat (19/10), Komnas HAM berencana mengundang dua pasangan calon itu untuk membicarakan komitmen masing-masing terkait penyelesaian pelanggaran HAM dalam rangkaian peringatan hari HAM. Rangkaian peringatan berisi sejumlah agenda mulai 21 November hingga 10 Desember 2018.
Peringatan diawali dengan Festival Ke-5 Hak Asasi Manusia Tingkat Nasional pada 13-15 November 2018. Festival ini akan diikuti seluruh kepala daerah se-Indonesia di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Selanjutnya pada 21 November di Jakarta akan digelar simulasi sidang tentang kebijakan sejumlah kementerian. Sidang ini akan mengundang menteri serta warga yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Pada Hari HAM 10 Desember 2018, Komnas HAM akan menggelar diskusi paralel yang membahas tentang pelanggaran HAM berat, konflik agraria serta intoleransi. Kemudian, hasil dari diskusi tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Setelah itu pada Januari kami akan undang capres-cawapres," kata Ahmad Taufan Damanik.
Sebelumnya, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Luky Sandra Amalia menilai visi dan misi capres hampir sama isinya, tetapi Capres Jokowi memasukkan HAM ke dalam aspek hukum, tidak berdiri sendiri. "Bisa dilihat dari situ mana keberpihakan calon pada isu HAM karena masih banyak isu HAM yang belum selesai," kata Luky.
Ia mengatakan diperlukan keberanian untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang tidak mudah. Sebab, ia mengatakan, kasus itu diduga menyangkut nama besar yang masih ada di Tanah Air.
Kasus HAM berrakhir pada arahan presiden
Taufan Damantikmengatakan, selama empat tahun terakhir, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM berat yang ditindaklanjuti hingga pengadilan. Ia menjelaskan, agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanya berakhir pada arahan Presiden.
Setelah itu, tidak ada tindak lanjut untuk menuntaskannya. "Saat pertemuan dengan Pak Jokowi, dia sudah memberi arahan pada Jaksa Agung. Saat pidato kenegaraan, Jokowi juga mengingatkan kembali," kata dia saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10).
Namun, Kejaksaan Agung selalu beralasan ada data atau bukti yang kurang. Padahal, itu bisa dilengkapi oleh tim penyidik Kejaksaan Agung. Apalagi, kewenangan Komnas HAM sangat terbatas untuk melakukan penyeledikan.
Setidaknya, ada 10 pelanggaran HAM berat yang berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Ahmad menyebutkan, kasus itu di antaranya Peristiwa 1965/1966, penembakan misterius 1982-1985, penghilangan aktivis 1997-1997, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998, Peristiwa Talangsari 1989, Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Komnas HAM menambah tiga berkas pelanggaran HAM berat dari Aceh, yaitu kasus Jembu Kepok, Simpang KKS, dan Rumah Gedong, yang diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 2017-2018. "Kalau untuk penyelesaian HAM berat, secara umum kita kecewa. Pemerintahan Jokowi kita masih katakan belum lulus lah. Merah," ujar dia.