REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang membakar bendera hitam berlafaz tauhid diputuskan tidak terjerat hukum. Pasalnya, unsur pidana berupa niat jahat atau mens rea tak terpenuhi.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Polisi Arief Sulistyanto mengatakan, tiga orang tersebut membakar bendera yang dianggap bendera Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) secara spontan. "Karena spontan, tidak ada niat jahat dari Banser saat melakukan pembakaran," kata Arief di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (26/10).
Arief menjelaskan, polisi telah melakukan penyelidikan menyeluruh dalam rangkaian peristiwa pembakaran bendera yang terjadi di Peringatan Hari Santri Nasional di Garut, Senin (22/10). Dari hasil penyelidikan pada panitia, diketahui dalam acara resmi tersebut hanya boleh membawa bendera merah putih.
Namun, lanjut Arief, seorang pria bernama Uus membawa bendera tersebut. Banser kemudian menanyakan pada Uus alasan membawa bendera tersebut. Menurut Arief, Uus menyatakan bendera tersebut adalah bendera HTI.
Sehingga, Banser pun menyuruh Uus meninggalkan lokasi, tanpa bendera yang ia bawa. Bendera hitam itu pun dibakar Banser. Menurut Arief, sebelum membakar, pelaku pembakaran bahkan sempat mencari-cari dahulu korek. "Spontanitas Banser ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya alat pembakar (korek)," kata Arief. Ia mengatakan, pembakaran itu dilakukan Banser agar bendera tidak digunakan lagi, sesuai aturan acara.
Dengan tidak adanya unsur niat jahat itu, maka gugurlah unsur pidana yang menjerat tiga anggota Banser. Untuk diketahui, dalam suatu pidana, harus dipenuhi dua unsur yakni actus reus atau fisik perbuatan pidana, dan mens rea atau niat motif melakukan pidana.
Actus reus dalam kasus ini adalah perbuatan pembakaran bendera. Sementara, mens rea dalam kasus ini dianggap polisi tidak ada karena bersifat spontan dan Banser menganggap bendera itu sebagai bendera HTI yang merupakan organisasi terlarang pemerintah.