REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksekusi mati tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi yang tanpa pemberitahuan telah menimbulkan kecaman dari pemerintah. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pemerintah telah berupaya melakukan yang maksimal untuk meringankan hukuman Tuti Tursilawati, TKI asal Majalengka tersebut.
"Ini sudah tiga kali banding. Semua upaya pemerintah sudah dilakukan, mulai dari penunjukan pengacara, surat presiden, banding, PK, kunjungan ke penjara. Sudah dilakukan Kemenlu dan KBRI kita disana," jelas Direktur Pemetaan dan Harmonisasi Kualitas Tenaga Kerja Luar Negeri II (PHK-TKLN II) BNP2TKI, Yana Anusasana kepada Republika.co.id, Rabu (31/10).
Namun upaya-upaya pemerintah itu malah gagal. Tuti Tursilawati dieksekusi mati oleh otoritas Arab Saudi pada Senin (29/10) pukul 09.00 waktu setempat di penjara Thaif, dan tanpa mengabarkan pemerintah Indonesia sebelumnya.
Upaya-upaya perlindungan TKI di luar negeri merupakan wewenang Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sementara di dalam negeri, BNP2TKI terus melakukan sosialisasi dan upaya perlindungan bagi para calon TKI dengan mendata mereka secara resmi.
"Selain sosialisasi prosedural, kita mulai perlindungan dari pencatatan, dari dinas tenaga kerja dimana dia berasal. Dalam rangka berupaya memberikan perlindungan yang maksimal," jelas Yana.
Sebelumnya Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhamad Iqbal menjelaskan bahwa Tuti menerima hukuman mati yang terberat, sehingga banding yang dilakukan selalu gagal.
"Tuti mendapat hukuman mati hadd ghillah, yang tertinggi, tidak bisa dimaafkan oleh siapapun," kata Iqbal pada Selasa (30/10), dikutip dari Antara.
Terdapat tiga tingkatan hukuman mati di Arab Saudi. Hukuman paling rendah adalah ta'zir yang diberikan jika pelaku hanya melanggar pidana di negara tersebut. Hukuman itu bisa dimaafkan oleh raja.
Kedua, adalah qisas yang sesuai Al-Quran dan hadist. Penyelesaian hukuman tersebut dilakukan jika ahli waris korban memaafkan pelaku dan biasanya diselesaikan dengan diyat (denda atau tebusan). Ketiga, hadd ghillah merupakan yang terberat dan tidak dapat dimaafkan oleh siapapun. Hukuman tersebut diberikan jika pelaku melakukan pembunuhan berencana.
Menurut Iqbal, Tuti melakukan pembunuhan bukan saat sedang dilecehkan, sehingga ia didakwa melakukan pembunuhan berencana. "Kalau sedang dilecehkan, itu bisa kita ajukan defence. Kalau kasus Tuti, mungkin karena dendam," kata Iqbal.
Selain Tuti, sebanyak 13 WNI terancam hukuman mati di Arab Saudi. Dari jumlah itu, seorang di antaranya sudah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap atau inkracht. "Yang jelas fokus pemerintah memastikan mereka terpenuhi hak-hak hukumnya, yang terpenting adalah pembelaan diri, mendapatkan penterjemah, dan proses peradilan yang fair," kata Iqbal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan eksekusi mati Tuti merupakan bukti bahwa untuk kesekian kalinya Arab Saudi menciderai etika diplomasi antara kedua negara yang seharusnya mengedepankan penghargaan atas hak asasi manusia (HAM).
"Indonesia harus memprotes keputusan yang melanggar HAM tersebut. Presiden Joko Widodo punya kewenangan untuk memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia untuk meminta klarifikasi dan menyampaikan protes resmi,” kata Usman Hamid.
Amnesty International menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun. Menurut Usman, hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia tersebut jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.