REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Budi daya udang yang ada di sepanjang pesisir barat Sumatra mulai dari Lampung hingga Bengkulu saat ini memasuki zona merah. Sejak 2017 hingga 2018 terakhir, produksi udang petambak budi daya di kawasan tersebut mengalami penurunan mencapai 70 persen.
“Sekarang sudah masuk zona merah. Kalau dulu (udang) mati (karena serangan penyakit) 10 sampai 15 persen, masih ada sisa banyak, kalau sekarang (2017-2018) sudah mengambil 60 sampai 70 persen,” kata Ketua Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera (IPPBS) Agusri Syarief di sela-sela Diskusi Panel “Sinergitas Stake Holders Menghadapi Tantangan Budidaya Udang Terkini” di Bandar Lampung, Kamis (1/11).
Menurut dia, merebaknya penyakit udang bernama myo (penyakit udang infectious mynecrosis virus/IMNV) sudah begitu hebat menyerang udang petambak di pesisir barat sejak tahun 2017 hingga sekarang. Meski penyakit ini sudah dikenal para petambak sejak tahun 2002, namun setahun terakhir berdampak pada produksi udang petambak menurun.
Ia mengatakan, kalau dulu sepanjang pesisir barat sumatra mulai dari Lampung hingga Bengkulu dikenal surganya petambak budidaya udang, karena memiliki laut lepas dan tidak terdapat sampai lautan, dan kondisi lingkungannya masih baik. Sejak merebak penyakit myo yang menyerang udang, kondisi usaha petambak budidaya udang terancam.
“Padahal dulu paling bagusnya pesisir barat, karena lautnya bebas, kotorannnya ditarik ke tengah laut, sekarang (sampahnya) mandek. Saya punya (tambak udang) di Bintuhan Bengkulu terasa dengan penyakit udang tersebut,” kata Agusri.
Ia berharap dengan diskusi yang menampilkan beragam nara sumber dapat tercipta sinergitas antarpihak dalam menghadapi tantangan dan ancaman budidaya udang khususnya budidaya udang saat ini. “Bagaimana caranya hidup dekat penyakit, tapi tidak merugi,” ujarnya.
Agusri yang juga ketua III Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Pusat menyebutkan, pada tahun 2017 ini banyak budidaya udang di Pesisir Barat dan Bintuhan yang mengalami gagal panen akibat terserang penyakit myo. Padahal awalnya pembudidaya berlomba-lomba membuka tambak di Bintuhan, Kaur dan Pesisir Barat Lampung. Tapi pada saat budidaya udang di kedua daerah ini masih tergolong baru muncul banyak masalah.
Kepada sesama petambak dan teknisi budidaya udang, ia berharap agar menjalankan budidaya udang yang ramah lingkungan dengan membangun tandon untuk pengolahan air dan instalasi pengolahan limbah.
Heny Budi Utari, kepala Pelayanan Kesehatan Hewan PT CP Prima mengatakan, sekarang para pembudidaya udang justru dihantui oleh penyakit Early Mortality Syndrome (EMS), yang berakibat pada kematian massal udang dan sulit dikendalikan.
Ia menyebutkan, IMNV merupakan penyakit yang masih berjangkit di Lampung, Bengkulu dan Jawa Timur. Di Jatim, myo pertama kali ditemukan di sentra udang di Situbundo pada bulan Juni 2002. Penyakit ini menyerang pada saat udang stres sehingga daya tahan tubuhnya lemah.
Virus myo ini menyerang otot udang. Dari pengalaman selama ini sulit untuk mengeliminasi myo. Yang bisa dilakukan bagaimana agar myo tidak menimbulkan penyakit. Agar udang tetap sehar, caranya dengan treatment lingkungan, karena hewan laut permisif terhadap lingkungan sehingga lingkungan pula yang bisa membuatnya tahan terhadap penyakit.
Serangan myo, membuat kegagalan panen udang di Bengkulu mencapai 60 persen. Bahkan prevalensi sebaran penyakit di Bengkulu atau pantai barat Sumatra sudah mencapai 90 persen. Bahkan prevalensi penyakit myo di Pesisir Barat sudah di angka 97 persen. Di Tanggamus (Lampung) prevalensinya berada di angka 89 persen. Di Bengkulu melonjak tajam dari 17 persen tahun 2016 menjadi 37 persen tahun 2017.
Penyakit myo yang merebak di pantai barat Sumatra, bukan disebabkan penyakit yang bermutasi sehingga menyebabkan serangan yang lebih ganas. Namun penyebabnya lebih dominan oleh lingkungan dan faktor internal tambak. Ia memberikan solusi, pembudidaya harus membangun tandon, melakukan water treatment, mengecek parameter air guna stabilisasi pH, dan parameter air lainnya serta membangun instalasi pembuangan limbah.