Selasa 06 Nov 2018 15:11 WIB

Pembawa dan Pembakar Bendera Dihukum 10 Hari, Adilkah?

Perdebatan soal bendera yang dibakar tidak akan berujung.

Rep: Umar Mukhtar, Mabruroh/ Red: Ratna Puspita
Kasus ribut pembakaran bendera.
Foto: republika
Kasus ribut pembakaran bendera.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat, memvonis tiga terdakwa pembawa bendera dan pembakar bendera bertuliskan Arab saat peringatan Hari Santri Nasional di Limbangan, Garut, 22 Oktober 2018, dengan kurungan penjara selama 10 hari. Tiga terdakwa telah terbukti dan sah mengganggu ketertiban umum. 

Hukuman ini mendapatkan berbagai tanggapan. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, hukuman terhadap pembawa dan pembakar bendera tauhid sudah cukup adil. 

Baca Juga

Ia mengatakan, pemberian hukuman tersebut didasarkan pada Pasal 174 KUHP yang hukuman maksimalnya adalah tiga pekan alias 21 hari. "Ketentuan Pasal 174 KUHP ya segitu, maksimal tiga pekan alias 21 hari, jadi 10 hari itu sudah cukup adil," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (6/11).

Fickar menjelaskan, hukuman yang dijatuhkan memang hanya terkait perbuatan mengganggu rapat dan bukan membakar bendera. Vonis ini juga terkait dengan proses penyidikan di kepolisian yang menganggap tidak ada unsur pelanggaran pada pembakaran bendera. 

Karena itu, hal tersebut tidak termuat dalam dakwaan jaksa. “Membakar bendera sendiri tidak dipertimbangkan oleh penuntut umum karena dianggap tidak ada unsur kesalahannya kata penyidik,” ujar Fickar.

Namun, Fickar melanjutkan, hal terpenting dalam kasus ini, yakni proses dan penghukuman ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua orang. Pelajaran itu, yakni tindakan negatif, seperti mengganggu rapat umum, termasuk membakar bendera, mendapat pengawalan dari hukum. "Bukan hanya hukuman fisik, tapi juga sanksi sosial yang secara politis sangat merugikan siapa pun," kata dia.

photo
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, M Busyro Muqoddas. (Republika)

Akan tetapi, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah M Busyro Muqaddas mengutarakan pendapat berbeda. Ia menyayangkan putusan hakim Pengadilan Negeri Garut atas terdakwa kasus pembakaran bendera tauhid pada Senin (5/11) kemarin. 

“Itu tidak (tepat), tidak peka,” ujarnya melalui pesan singkat pada Republika.co.id, Selasa (6/10).

Busyro menerangkan, polisi, jaksa, dan hakim merupakan orang-orang yang cerdas dan tajam terhadap kasus yang berdampak luas pada aspek hak-hak masyarakat di bidang sosial keagamaan. Ia mengatakan, kecerdasan dan ketajaman itu seharusnya tecermin tegas dalam berita acara pemeriksaan, tuntutan, dan vonis. 

“Jika tidak, aparat penegak hukum tersebut telah menodai hakikat nilai dan dimensi ruhaniah hukum dan keadilan,” katanya.

Karena itu, ia menilai, putusan sepuluh hari penjara kepada pembawa dan pembakar bendera justru menghina nilai-nilai yang ada di masyarakat. “Ini sama saja menghina agama, masyarakat, serta hak-hak serta rasa keadilan masyarakat sekaligus menghina Pancasila,” ujar dia. 

photo
Anggota Tim 11 Alumni 212 - Slamet Maarif. (Republika)

Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif mengaku kecewa. Bahkan, ia menganggap putusan hakim telah melukai umat Islam. “Kami sangat kecewa, ini vonis abal-abal, dagelan," kata dia. 

Ia juga menganggap putusan tersebut sangat jauh dari tuntutan umat yang telah disampaikan melalui aksi bela tauhid beberapa waktu lalu di depan istana. Ia menilai, hukum berpihak pada penguasa. “Kami akan terus berjuang untuk kibarkan jutaan bendera tauhid panji Rasulullah di negeri ini," kata dia. 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengaku menghormati perbedaan pendapat mengenai vonis itu. Ia mengatakan, jika ada yang tidak bisa menerima, hal tersebut merupakan hak pribadi mereka. “Itu hak mereka yang tidak mau terima," kata dia kepada Republika.co.id pada Selasa (6/11).

Akan tetapi, ia berpendapat vonis itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Ia pun sepakat kasus ini diproses dengan pasal pelanggaran membuat gaduh rapat umum. 

“Di sini persoalannya menurut saya persoalan membuat gaduh saja,” kata Marsudi. 

photo
[Ilustrasi] Unjuk rasa memprotes pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Jakarta. (Antara)

Ia berpendapat jika pembakaran bendera diproses sebagai penghinaan agama, akan ada perdebatan yang tidak menemui ujung. Ia menerangkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HT) selaku organisasi yang sudah dibubarkan di Indonesia mengklaim tidak memiliki bendera. 

HTI menyatakan, bendera yang kerap digunakan oleh simpatisan HTI merupakan panji Rasulullah ketika berperang. Akan tetapi, ia mengatakan, penjelasan ini akan mengundang pertanyaan lain.

"Negara Indonesia kan bukan negara perang. Bendera itu di negara-negara perang. Kalau ngomong seperti ini debatable terus, tidak ada selesainya,” kata dia.

Karena itu, ia mengajak semua pihak menghormati hukum. Sebab, proses hukum sudah berjalan dan ketiganya sudah dihukum. “Apa lagi?” ujar dia.

Polisi menjerat pembawa bendera dan pelaku pembakaran bendera dengan Pasal 174 KUHP tentang membuat kegaduhan di rapat umum. Kemudian, jaksa mendakwa F dan M selaku pembakar bendera, dan U sebagai pembawa bendera dengan pasal yang sama.

Berdasarkan dakwaan, hakim PN Garut pada Senin (5/11) kemarin memutuskan menjatuhkan vonis kepada ketiganya 10 hari penjara dan denda Rp 2.000. Tiga terdakwa tersebut juga menyatakan menerima putusan hakim. Mereka juga mengaku tidak akan melakukan banding. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement