Rabu 07 Nov 2018 18:47 WIB

Daya Beli CPO Masih Lemah

Pada September, penyerapan biodiesel mencapai 402 ribu ton.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Foto udara perkebunan kelapa sawit di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, Kamis (13/9). Kementerian Perdagangan memberlakukan Bea Keluar (BK) untuk produk  crude palm oil (CPO) asal Indonesia US$0 per ton untuk September karena turunnya harga referensi produk CPO penetapan BK periode September 2018 pada level 603,94 dolar AS per metrik ton (MT) melemah 28,23 dolar AS.
Foto: Nova Wahyudi/Antara
Foto udara perkebunan kelapa sawit di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, Kamis (13/9). Kementerian Perdagangan memberlakukan Bea Keluar (BK) untuk produk crude palm oil (CPO) asal Indonesia US$0 per ton untuk September karena turunnya harga referensi produk CPO penetapan BK periode September 2018 pada level 603,94 dolar AS per metrik ton (MT) melemah 28,23 dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daya beli minyak sawit pada September masih lemah. Hal ini membuat ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical menurun tiga persen atau dari 3,3 juta ton pada Agustus tergerus menjadi 3,2 juta ton pada September.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan, rendahnya harga Crude palm Oil (CPO) global tidak menjadi daya magnet yang kuat kepada negara impor. Sebab, harga minyak nabati lain juga sedang murah terutama kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari. 

"Harga kedelai sendiri jatuh hingga berada pada level terendah sejak tahun 2007," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (7/11). 

Ia menambahkan, eskalasi perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat (AS) mempunyai andil yang cukup besar dalam mempengaruhi harga kedelai. Apalagi, Argentina yang merupakan salah satu negara penghasil kedelai terbesar mengambil tindakan dengan mengurangi pajak ekspor kedelai guna menarik pembeli. Produksi minyak sawit yang meningkat terutama di Indonesia dan Malaysia memperburuk situasi sehingga stok menumpuk di dalam negeri.

Sepanjang September 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya) tidak termasuk oleochemical dan biodiesel hanya mampu mencapai 2,99 juta ton. "Angka ini mengalami stagnasi dibandingkan bulan sebelumnya dengan kecenderungan menurun," katanya. 

Secara year on year kinerja ekspor minyak sawit dari Januari-September 2018 mengalami penurunan sebesar satu persen atau dari 23,19 juta ton pada Januari-September 2017 turun menjadi 22,95 juta ton pada periode yang sama tahun ini. India tetap menjadi negara pembeli tertinggi CPO dan produk turunannya dari Indonesia. Pada September ini, impor India membukukan 779,44 ribu ton. Angka ini mengalami penurunan lima persen dibandingkan dengan impor bulan sebelumnya yang mencapai 823,34 ribu ton. 

Ia melanjutkan, baru-baru ini pemerintah India meliris kebijakan tentang biofuel dimana target pencampuran bensin 20 persen untuk etanol dan lima persen pencampuran diesel untuk biodiesel pada 2030. Kebijakan ini tentunya membuka peluang pasar lebih besar kepada Indonesia untuk memenuhi pencampuran biodiesel berbasis sawit.

Menurutnya, peluang ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah kepada pasar minyak sawit di India terutama terkait tarif bea masuk. "Malaysia akan menikmati pengurangan tarif bea masuk masing-masing lima persen untuk CPO dan refined product-nya sebagai buah dari Free Trade Agreement (FTA) yang efektif diberlakukan 1 Januari 2019," ujarnya.

Itu artinya, peluang Indonesia untuk mengisi kebutuhan minyak sawit India akan terus tergerus jika tidak ada langkah meningkatkan perdagangan baik melalui perjanjian bilateral (FTA) atau perjanjian perdagangan khusus atau preferential trade agreement. Penurunan impor CPO dan produk turunannya dari Indonesia juga dicatatkan oleh Cina (25 persen), Pakistan (24 persen), AS (50 persen) dan negara-negara Timur Tengah (21 persen).

Di sisi lain, Uni Eropa membukukan kenaikan impor CPO dan produk turunannya sebesar 16 persen diikuti Bangladesh sebesar 155 persen dan negara-negara Afrika sebesar 47 persen. Kenaikan ini merupakan kenaikan normal karena pada bulan sebelumnya terjadi penurunan.

Sementara itu, perluasan mandatori B20 sudah mulai menunjukkan kenaikkan penyerapan biodiesel yang cukup signifikan di dalam negeri. Pada September, penyerapan biodiesel mencapai 402 ribu ton atau naik 39 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 290 ribu ton. Penyerapan belum meningkat sesuai dengan target karena masih terkendala infrastruktur dimana titik penyebaran pengiriman biofuel sangat tersebar dan juga tidak dilengkapi dengan tanki penimbunan yang memadai. 

Diperkiraan sampai pada akhir tahun 2018 penyerapan biodiesel di dalam negeri akan bertambah 940 ribu ton dari target awal, yang berasal dari penggunaan B20 non-PSO. Sementara itu realisasi purchase order (PO) Pertamina untuk mandatori B20 secara keseluruhan sampai pada September 2018 termasuk PSO dan non-PSO telah mencapai 74 persen dari target.

Di sisi harga, sepanjang September 2018 harga bergerak di kisaran 517,50 dolar AS hingga 570 dolar AS per metrik ton, dengan harga rata-rata 546,90 dolar AS per metrik ton. Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016 lalu. Harga CPO global terus tertekan karena harga minyak nabati lain yang sedang jatuh khususnya kedelai dan stok minyak sawit yang cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement