REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kasus Baiq Nuril, mantan pegawai honorer bagian Tata Usaha di SMU 7 Mataram, NTB, menarik simpati banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Presiden, Baiq Nuril masih bisa melakukan upaya hukum dengan mengajukan proses Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Jokowi mengatakan, proses hukum melalui PK tersebut perlu dilakukan untuk mencari keadilan bagi Baiq Nuril. Ia pun mengaku mendukung upaya Baiq Nuril untuk mencari keadilan hukum baginya.
"Namun, dalam mencari keadilan Ibu Baiq Nuril masih bisa mengajukan upaya hukum yaitu PK," ujar Jokowi di pasar tradisional Sidoharjo, Kabupaten Lamongan, Senin (19/11).
Jokowi berharap, melalui proses PK tersebut, nantinya Mahkamah Agung dapat memutuskan kasus ini dengan adil. "Kita berharap nantinya melalui PK, Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nurul mencari keadilan," ucapnya.
Kendati demikian, jika dalam proses pengajuan PK nanti Baiq Nuril dinilai tidak mendapatkan keadilan, maka ia menegaskan Baiq Nuril dapat mengajukan grasi kepada Presiden.
"Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke Presiden," ujarnya.
Ia menegaskan, Presiden hanya dapat membantu kasus Baiq Nuril jika telah mengajukan grasi. Selama masih proses hukum, lanjutnya, Presiden tak bisa mengintervensi putusan hukum.
Namun, Jokowi juga mengingatkan masyarakat harus menghormati proses hukum dalam kasus ini. "Sebagai kepala pemerintahan, saya tidak mungkin, tidak bisa intervensi putusan tersebut. Ini harus tahu. Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke Presiden nah nanti itu bagian saya," ujarnya.
Baiq Nuril Maknun, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, merekam pembicaraannya dengan mantan kepala sekolahnya pada 2017 lalu, berisi cerita hubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan resminya. Nuril merekam percakapan tersebut sebagai cara untuk melindungi dirinya serta bukti bahwa dia tidak memiliki hubungan khusus dengan pelaku.
Nuril dilaporkan pimpinannya itu karena dituduh menyebarkan rekaman tersebut. Di persidangan, terungkap bahwa tidak ada unsur kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang dituduhkan. Majelis hakim pada persidangan 2017 lalu menyatakan yang mendistribusikan rekaman tersebut adalah rekan kerja Nuril.
PN Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah. Jaksa mengajukan kasasi ke MA atas vonis tersebut, yang memutuskan Nuril bersalah dengan hukuman penjara selama enam bulan dan denda Rp 500juta subsider tiga bulan kurungan.