Selasa 21 Sep 2021 08:44 WIB

Kenapa Lapas dan Rutan Overcrowded? Ini Analisis ICJR

21 persen isi rutan dan lapas di Indonesia karena penahanan sebelum putusan. 

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
 Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri) bersama Peneliti ICW Lalola Ester.
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri) bersama Peneliti ICW Lalola Ester.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak lembaga permasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) di Tanah Air yang penuh atau over kapasitas. Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, penuhnya (orvercrowded) di lapas karena beberapa alasan, termasuk over kriminalisasi.

"(Overcrowded) di titik masuknya adalah overkriminalisasi kebijakan pidana yaitu 39 persen legislasi memuat ancaman pidana," kata Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu saat mengisi konferensi virtual berjudul mencari jalan keluar overcrowded di tempat-tempat tahanan, Senin (20/9) sore.

Dikatakannya, perang terhadap narkotika sejak 2015 lalu, juga mempengaruhi karena 68 persen penghuni dari tindak pidana narkotika. Kemudian, penggunaan penahanan yang eksesif yaitu 24 persen dari total penghuni. 

Selain itu, ungkap dia, alternatif pemidanaan non-pemenjaraan tidak berjalan. Kemudian, selama pemenjaraan ternyata distribusi populasi tidak semua kabupaten/kota memiliki sumber daya yang cukup dan kemampuan pembinaan terbatas. 

"Kemudian, saat titik keluar ada assesment mechanism oleh balai pemasyarakatan (bapas) yang tidak efektif," ujarnya.

Terkait situasi penahanan yang eksesif, pihaknya mengutip data dari Dirjenpas Kementerian Hukum dan HAM bahwa per September 2020 yang menyebutkan, sebanyak 21 persen isi rutan dan lapas di Indonesia karena penahanan sebelum putusan bahkan menjadi 24 persen per Juni 2021. "Ini belum terhitung yang menjadi tahanan kepolisian," kata Erasmus. 

Dia mengatakan, di situasi pandemi seperti sekarang, tentu membebani pihak rutan dan lapas. Namun, hal yang jarang dibahas adalah penahanan berdampak pada masalah proporsionalitas hukuman pada pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Ini termasuk ancaman pemidanaan dalam undang-undang (UU) baru yang meningkat seperti UU ITE 2008 yang memuat ancaman diatas 5 tahun dengan alasan bisa dilakukan penahanan," ujarnya. 

Per 2014, pihaknya mencatat ada sekitar 443 jenis kejahatan baru dengan ancaman maksimum hukuman lebih dari 5 tahun yang membuat lapas semakin penuh.

Karena itu, untuk mengatasi overcrowded di lapas dan rutan, pihaknya mengusulkan ada dua langkah yaitu langkah langsung dan langkah percepatan hukum atau legislasi. Dia menyebutkan, langkah langsung di antaranya amnesti atau grasi massal orang-orang yang terjerat pasal 111/112/114 UU Narkotika berbasis penilaian kesehatan, revisi peraturan pemerintah (PP) 99/2012. 

Kemudian, kebijakan presiden untuk serukan polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika atau tindak pidana lain, kebijakan presiden untuk serukan jaksa menuntut dengan pasal 127, pasal 14a, c KUHP untuk pengguna narkoba. 

Untuk tindak pidana paling banyak lainnya seperti pencurian penganiayaan bisa diganti kerugian korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku. Langkah percepatan hukum atau legislasi yaitu RKUHP yang saat ini masih 66 persen diancam dengan pidana penjara masih ada muatan over kriminalisasi.

"Jadi, perkuat alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, misalnya tahanan kota," katanya. Selain itu, batasi kewenangan penyidik, perkuat mekanisme kontrol jaksa, judicial scrutiny, perkuat mekanisme alternatif pemidanaan dan penahanan, perkuat mekanisme jalur penyelesaian perkara di luar sistem. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement