REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami sejumlah penyimpangan perizinan yang diduga terjadi sejak awal. Selain itu penyidik juga mendalami keterkaitannya dengan dugaan suap yang diberikan pada Bupati nonaktif Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait suap izin proyek Meikarta.
Pada Rabu (21/11), penyidik KPK memeriksa Pelaksana tugas (Plt) Bupati Bekasi, Eka Supria Atmaja sebagai saksi. Eka yang merupakan wakil bupati Bekasi itu diperiksa sebagai saksi untuk Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro selaku tersangka suap pengurusan izin proyek Meikarta.
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah menuturkan, penyidik KPK mendalami peran Eka selaku orang nomor dua di Kabupaten Bekasi terkait dengan izin yang diberikan kepada pihak Meikarta. Menurut Febri, sebelum Eka, penyidik KPK telah memanggil sejumlah kepala dinas dan pejabat di lingkungan Pemkab Bekasi.
"Dalam konteks materi pemeriksaan kami dalami bagaimana sejauh pengetahuan dari saksi ini," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Rabu (21/11).
Menurut penyidik, sambung Febri, Eka dinilai mengetahui beberapa rangkaian proses perizinan proyek milik Lippo Group itu. Pemkab Bekasi diketahui telah mengeluarkan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas 84,6 hektare kepada PT Lippo Cikarang Tbk.
Selain Eka, penyidik juga memeriksa Andi Dwi Prasetyo, Pelaksana Seksi Pencegahan dan M Urip Karisabanu, Mantan Kasie Pengelolaan PSDA dinas PUPR. "Penyidik mendalami pengetahuan para saksi terkait proses perizinan proyek Meikarta dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses perizinan tersebut," tuturnya.
Kepada saksi, tambah Febri, penyidik KPK juga melakukan pendalaman sumber uang suap tersebut pada sejumlah pejabat dan pegawai Lippo group.
Febri juga mengingatkan kepada Eka terkait langkah administratif yang bisa diambil untuk meninjau ulang izin pembangunan proyek Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi. "Ini di luar konteks pemeriksaan ya. Ada langkah administratif yang bisa dilakukan Pemkab Bekasi untuk melakukan semacam review atau mengeksaminasi," ucapnya.
Febri mengatakan Pemkab Bekasi selaku pihak yang mengeluarkan izin proyek Meikarta perlu melihat kembali perizinan yang diberikan usai terbongkarnya kasus suap tersebut. Menurut Febri, pihaknya menduga terjadi masalah cukup mendasar sejak awal pengurusan perizinan sampai rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan.
Saat ini, kata Febri ada dua hal yang bisa dilakukan dalam kasys dugaan suap izin proyek Meikarta, pertama proses hukum yang tengah diproses KPK dan kedua review perizinan yang bisa dilakukan Pemkab Bekasi maupun Pemprov Jawa Barat.
"Agar persoalan lebih besar terkait meikarta ini tak terjadi ke depannya," ujarnya.
Sementara Eka usai diperiksa mengaku tak tahu menahu proses pengurusan izin Meikarta. Dia mengatakan sebagai wakil bupati Bekasi dirinya lebih banyak mengurus masalah keorganisasian di lingkungan Pemkab Bekasi.
"Tidak. Saya juga tidak tahu urusan Meikarta. Saya belum pernah ketemu," ucap Eka.
Meskipun demikian, Eka mengakui dicecar penyidik KPK soal pengurusan izin Meikarta. Dia mengaku tak mengenal Billy Sindoro. Menurutnya, sampai dugaan suap mencuat, dirinya sama sekali tak mengetahui masalah izin Meikarta.
"Tentu saja terkait Meikarta tapi memang saya kebetulan tidak tahu jauh lagi tentang Meikarta," ujarnya.
Sampai saat ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap 72 orang saksi dalam penyidikan ini, dengan unsur: Pegawai dan pejabat Lippo: 29 orang; Pejabat dan pegawai Pemprov Jabar: 11 orang dan Pejabat dan pegawai Pemkab Bekasi: 32 orang.
Sebelumnya, dari serangkaian bukti komunikasi dan pemeriksaan saksi oleh penyidik KPK, kasus ini semakin mengerucut kepada kepentingan Lippo Group, selaku pengembang megaproyek 'Kota Baru' itu. Proyek Meikarta digarap oleh PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk.
Secara keseluruhan, nilai investasi proyek Meikarta ditaksir mencapai Rp278 triliun. Meikarta menjadi proyek terbesar Lippo Group selama 67 tahun grup bisnis milik Mochtar Riady itu berdiri.
Dalam kasus ini, Billy Sindoro diduga memberikan uang Rp7 miliar kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan anak buahnya. Uang itu diduga bagian dari fee yang dijanjikan sebesar Rp13 miliar terkait proses pengurusan izin proyek Meikarta.
KPK sudah menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022 Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.
Selain Neneng dan Billy, KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya yakni, dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ).
Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).
Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.