Kamis 22 Nov 2018 15:36 WIB

AS-Turki Bahas Esktradisi Gulen, Washington Melunak?

Turki menyerahkan 84 daftar mereka yang terikat dengan Gulen kepada AS.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Nashih Nashrullah
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu saat berbicara di Konferensi Keamanan di Muenchen, Jerman, Ahad (19/2).
Foto: Matthias Balk/dpa via AP
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu saat berbicara di Konferensi Keamanan di Muenchen, Jerman, Ahad (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) dan Turki mengadakan pertemuan guna membahas hal-hal terkait masalah kedua negara. Termasuk ekstradisi sejumlah ulama Turki yang diasingkan serta pembebasan permanen dari sanski AS untuk mengimpor minyak Iran.

Pertemuan ini merupakan sebuah kemajuan di tengah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang enggan membahas apapun terkait nasib Fetullah Gulen, menyusul menguatnya desakan AS memberikan sanksi tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi atas terbunuhnya jurnalis Jamal Khashoggi. 

Menteri Luar Negeri Turki Melvut Cavusoglu mengatakan, telah memberikan daftar 84 orang yang terikat dengan Fetullah Gulen kepada Sekretaris Negara Mike Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton pada Rabu (21/11). Ankara mengekstradisi beberapa orang dalam dakawaan terkait kudeta gagal dua tahun lalu.

Daftar nama tersebut termasuk Gulen, yang tinggal di Pennysylvania, AS, meski ia menyangkal keterlibatan dalam upaya kudeta 2016.

Meski demikian, Cavusoglu tidak memberitahu reaksi Pompeo dan Bolton menyoal daftar nama itu.  Namun, Cavusoglu mengaku lega AS telah memperhatikan permintaan Turki. Turki sebelumnya juga meminta ekstradisi Gulen namun ditolak.

Dilansir Associated Press, selain masalah ekstradisi, Cavusoglu mengatakan, telah mengajukan permohonan untuk pengabaian permanen sanksi AS terhadap Iran yang memungkinkan mengimpor minya Iran tanpa adanya pinalti. Menurutnya, pengabaian diperlukan sebab Turki tidak bisa mengganti kerugian dalam pembelian minyak Iran.

"Kami tidak dapat melakukan diversifikasi lebih lanjut," katanya kepada wartawan pada konferensi pers di kediaman duta besar Turki di Washington.

Cavusoglu mengklaim perbedaan Washington dan Ankara yang masih mendalam. Upaya pemerintahan Trump yang menyudutkan Iran, kata dia, tidak bijaksana dan berbahaya bagi stabilitas di Timur Tengah. 

Dia juga menuduh pemerintahan AS yang memilih berada di sisi Israel dalam konflik Palestina. "AS kehilangan kredibilitasnya sebagai perantara jujur untuk perdamaian," kata Cavusoglu.

Pemerintahan Trump awal bulan ini kembali memberlakukan semua sanksi terhadap Iran yang telah dicabut di bawah ketentuan kesepakatan nuklir Mei lalu. 

Di dalamnya termasuk sanksi pada negara dan perusahaan yang terus melakukan bisnis dengan perusahaan Iran, seperti perusahaan minyak milik negara.

AS telah menuntut negara-negara untuk mengurangi impor minyak Iran, tetapi  AS memberikan keringanan waktu kepada delapan negara. Cavusoglu menegaskan bahwa Turki tidak bisa dan tidak akan menghentikan semua impor dari Iran.

Setelah bertemu Cavusoglu, Pompeo mengatakan hubungan AS dengan sekutu NATO telah meningkat sejak pembebasan pendeta Amerika yang dipenjara di Turki, Andrew Brunson pada Oktober.

"Kami menyambut  momentum positif dalam hubungan kami setelah rilis Pastor Brunson dan mendesak membuka kembali hubungan untuk mengatasi masalah yang menjadi perhatian bersama," ujar Pompeo sembari menyatakan keprihatinan AS dengan beberapa pegawai Konsulat AS dan seorang ilmuwan NASA yang tetap dipenjara di Turki. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement