Sabtu 24 Nov 2018 03:11 WIB

Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Digaungkan

Dalam skala dunia selama ini hanya sembilan persen sampah plastik yang didaur ulang.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
Pekerja memasukan barang belanjaan ke kantong plastik di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (3\10).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Pekerja memasukan barang belanjaan ke kantong plastik di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (3\10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira mengatakan, penanggulangan sampah plastik paling tepat saat ini adalah mendorong pengurangan plastik dari sumbernya. Sebab, daur ulang yang selama ini dicanangkan banyak pihak tidak memberikan pengaruh signifikan.

Tiza mencatat, dalam skala dunia, setidaknya hanya sembilan persen sampah plastik yang benar mengalami daur ulang. Di Indonesia sendiri, hanya tujuh persen yang utamanya disebabkan pengelolaan sampah kurang tepat.

"Pemahaman yang ditanamkan pada masyarakat Indonesia bahwa plastik bisa didaur ulang tidak sepenuhnya benar," tuturnya saat mengisi diskusi bertajuk Disruption in Sustainable Environment dalam acara Disrupto 2018 di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (23/11).

Di samping faktor pengelolaan sampah yang kurang baik, Tiza menambahkan, juga ada fakta bahwa plastik tertentu memang tidak mudah didaur ulang. Misalnya, tutup botol dalam minuman kemasan plastik dan label yang menempel di badan botol. Melihat kondisi ini, upaya paling tepat adalah mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan plastik dari sumbernya.

Penekanan itu tidak hanya berlaku kepada masyarakat melalui sosialisasi, melainkan juga regulasi. Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan plastik berbayar, seperti Banjarmasin dan Balikpapan. Bogor dan Bali akan menyusul dalam waktu dekat.

Upaya lain yang kini tengah berlangsung adalah munculnya usaha kreatif berbasis lingkungan. Misalnya, Enviplast, produsen plastik ramah lingkungan dari tapioka yang dapat terdegradasi di tanah. Contoh lain, Evoware dengan produk plastiknya yang dapat dimakan, sehingga tidak menimbulkan sampah baru.

Tapi, Tiza menjelaskan, industri kreatif ini belum dapat berkembang secara maksimal di Indonesia. Penyebab utamanya, plastik konvensional yang berdampak negatif terhadap lingkungan masih tidak dikenakan biaya penggunaan. Sementara, produk kreatif lokal seperti Enviplast dan Evoware membutuhkan penerapan biaya jual agar siklus produksinya terus berjalan.

Tiza mengatakan, bagaimana inovasi tersebut bisa tumbuh apabila plastik konvensional tetap gratis. Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong agar pemerintah kian menggencarkan plastik berbayar. "Kalau pemerintah ingin mendukung gerakan pengurangan plastik, tapi plastik konvensional terus gratis, tentu tidak masuk akal," ucapnya.

Sales & Marketing Division Head Enviplast, Lanny Tjahjono menjelaskan, Enviplast mempelopori pembuatan kantong berbahan nabati atau kantong yang terbuat dari bahan baku singkong. Produk ini sempat sudah mulai dijual secara komersial pada 2012 tapi kurang mendapatkan respons dari masyarakat.

Banyak faktor yang menyebabkan sulitnya kantong nabati masuk ke pasar. Di antaranya, permintaan pasar yang tinggi akan kantong plastik konvensional serta lebih murahnya harga produksi kantong plastik dibanding alternatifnya. "Padahal, kantong nabati memiliki berbagai kelebihan dibanding kantong plastik biasa, terutama mampu diuraikan oleh mikroorganisme dalam waktu singkat sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan," ujar Lanny.

Sementara itu, Evoware merupakan bisnis rintisan yang mengenalkan pengganti kemasan plastik yang larut saat diseduh. Plastik ini dapat terurai dengan mudah, bahkan aman dimakan karena terbuat dari rumput laut. David Christian dari Evoware menyebut bisnisnya sebagai pendekatan solusi dari permasalahan sampah plastik yang menggunung di Indonesia.

David menjelaskan, setelah digunakan, kemasan Evoware dapat dimakan atau dimanfaatkan sebagai pupuk. Apabila kemasan plastik konvensional membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terurai, daur hidup produk Evoware hanya dua tahun. "Kami sudah dapatkan sertifikasi halal dan diproduksi sesuai standar HACCP," ujarnya.

HACCP merupakan standar dari Organisasi Kesehatan Dunia. Apabila suatu produk sudah sesuai standar ini berarti dipastikan bersih dan bahan pangannya aman. Kini, Evoware sudah diminati perusahaan besar seperti produsen mie instan dan kosmetik asal Inggris.

Lanny dan David sama-sama mengakui, tantangan terbesar yang dijalani model bisnisnya adalah modal besar. Dengan sistem produksi yang berbeda dari konvensional dan membutuhkan teknologi tinggi, biaya mereka terbilang lebih mahal dibanding saat produksi plastik biasa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement