REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf membantah dirinya pernah meminta maupun menyimpan uang hasil suap dan gratifikasi sepanjang menjabat sebagai gubernur. Karena itu, ia mengatakan, tidak mengetahui penerimaan uang yang disebutkan oleh jaksa pada surat dakwaan.
"Saya tidak tahu, saya tidak minta uang dan tidak pernah pegang uang. Saya tidak pernah pegang uang," kata Irwandi seusai menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (26/11).
Dalam perkara ini, Irwandi didakwa melakukan tiga perbuatan. Pertama, ia menerima suap sebesar Rp 1,05 miliar terkait proyek-proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2018.
Kedua, menerima gratifikasi sepanjang menjadi Gubernur Aceh periode 2017-2022 sebesar Rp 8,717 miliar. Ketiga, gratifikasi saat menjabat gubernur Aceh 2007-2012 sebesar Rp32,454 miliar sehingga seluruhnya mencapai Rp 42,221 miliar.
"Dakwaan disampaikan betul, tapi isi dakwaan salah. Saya tidak pernah menerima, menyuruh dan tidak dilaporkan. Itu urusan jaksa dan uang saya terima nol," kata Irwandi.
Politikus PDI-Perjuangan pun menuding bahwa kasus ini berbau politik. "Intinya saya tidak pernah menyuruh dan diberitahukan dan tidak pernah menerima. Saya yakin tidak bersalah dan kasus bukan ini ada hal lain, politik," tegas Irwandi.
Akan tetapi, Irwandi tidak mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap dakwaan tersebut. "Eksepsi hanya mengatur cara penulisan dakwaan plus minus okelah tidak perlu dieksepsi," ucap Irwandi.
Kuasa hukum Irwandi, Sira Prayuna, juga mneyatakan tidak mengajukan eksepsi. "Setelah kami pertimbangkan dan mengkaji maka kami berkesimpulan untuk melanjutkan sidang ini dengan tidak mengajukan eksepsi," kata Sira.
Mendengar keputusan terdakwa dan kuasa hukum yang tidak mengajukan eksepsi, Majelis Hakim pun menunda sidang dan akan kembali melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan Jaksa KPK pada Senin (3/12) pekan depan.
Irwandi didakwa pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Hukuman bagi penyelenggara yang terbukti menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.