Selasa 27 Nov 2018 04:25 WIB

Mengubah Wajah Desa

Partisipasi masyarakat di desa bisa dimunculkan dengan cara tidak konfrontatif.

Para laki-laki desa Lolo Wano, Kabupaten Sumba Barat, membawa parang di setiap pertemuan, perlambang pekerja keras, saat peresmian gedung perpustakaan SD paralel Wee Tame.
Foto: Priyantono Oemar/Republika
Para laki-laki desa Lolo Wano, Kabupaten Sumba Barat, membawa parang di setiap pertemuan, perlambang pekerja keras, saat peresmian gedung perpustakaan SD paralel Wee Tame.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Untuk menghidupkan kembali kampung adat, gairah baru muncul di kalangan masyarakat di Kabupaten Papua. "Sudah ada 20 kampung adat yang diajukan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah pusat," ujar Bupati Jayapura Mathius Awoitauw kepada Republika.co.id pada Kamis (9/8).

Upaya pembentukan kampung adat melalui proses yang panjang melibatkan masyarakat antarkampung. Berbagai forum rapat mereka lakukan selain turun ke lapangan melakukan pemetaan sosial dan wilayah.

"Yang hadir dalam pertemuan tak boleh mabuk, tak boleh membawa senjata tajam, tak boleh menyinggung perasaan," ujar Ketua Dewan Adat Yewena Yosu di Distrik Depepra, Kabupaten Jayapura, Yehuda Demetouw.

Aturan ini diterapkan untuk menghidupkan kembali norma-norma adat dalam menyelesaikan sebuah persoalan. "Bahwa menyelesaikan persoalan dengan cara adat itu lebih bagus dibandingkan dengan menyelesaikan persoalan dengan cara pemerintah," ujar Yehuda.

Mathius meyakini kampung adat akan mendorong peningkatan kesejahteraan, karena kampung adat memiliki hak atas tanah dan hutan yang ada di wilayah mereka. "Keberadaan kampung adat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mengelola hutan adat demi kesejahteraan mereka," ujar Mathius.

Partisipasi juga didorong untuk meningkat di daerah-daerah lain. Sebelum sampai tahap itu, Sapto Widodo, misalnya, perlu memberi contoh kepada kader-kader desa dengan menggalang aspirasi untuk membantu aparat desa menyusun rencana pembangunan.

Sikap pasif warga dan aparat desa membuat pendamping lokal desa (PLD) di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, itu perlu lebih aktif mencari aspirasi. Ia perlu meluangkan waktu lebih banyak menemui warga di berbagai kesempatan untuk menjaring aspirasi.

Sapto menyebut, di Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ada tiga desa tertinggal yang dijadikan contoh kasus Badan Pemerika Keuangan (BPK). "Sudah tiga tahun ada dana desa kok masih tertinggal, masalahnya karena salah perencanaan atau faktor lain?" ujar Sapto, PLD yang mengampu dua desa di Kecamatan Gabus, Rabu (23/11).

Untuk 2019, misalnya, ada desa-desa yang akan menggenjot program pemberdayaan masyarakat dan ekonomi. Sapto mengatakan, hal itu dilakukan, karena program pemberdayaan masyarakat dan ekonomi yang sudah disusun untuk 2018 belum terealisasi sesuai jadwal. "Biar fokusnya tak hanya pada pembangunan infrastruktur," ujar Sapto.

Itulah sebabnya, sebagai PLD ia sejak awal tahun sudah lebih aktif menggali aspirasi, agar pemanfaatan dana desa bisa tepat sasaran. Aspirasi itu diperlukan untuk menyusun rencana pembangunan desa yang dibahas di musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes) kemudian dibahas final di musyawarah desa pada Juli.

Sebagai PLD, Sapto mendapat tugas itu karena banyak kepala desa yang belum bisa membuat rencana pembangunan. Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pun belum mengetahui tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) secara benar.

Desa Pancur di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, beruntung memiliki kepala BPD yang telah memahami tupoksinya. Kepala BPD Pancur, Muadzim, telah rajin mendatangi pengajian-pengajian warga untuk menjaring aspirasi. "Di pengajian-pengajian itu saya sebarkan formulir yang harus diisi warga," ujar Muadzim.

Setelah terkumpul ia klasifikasikan permasalahan dan usulan yang ada. Bahan-bahan yang ia dapat ia bawa ke rapat BPD untuk kemudian dibahas bersama kepala desa. Digabung dengan hasil dari musyawarah dusun, bahan-bahan itu dijadikan dasar untuk menyusun rencana pembangunan desa. Di musyawarah desa rencana pembangunan itu dibahas lagi.

photo
Pembangunan jalan desa menggunakan dana desa di Desa Suwatu, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, dilakukan secara padat karya melibatkan warga desa. (Foto: Dokumentasi Sapto Widodo)

Di Jateng, kata Sapto, pas musyawarah desa, kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) yang menyusun rencana pembangunan tingkat dusun menyampaikan hasil musyawarah dusun. Di musyawarah desa itu, BPD menghadirkan juga tokoh masyarakat, lembaga desa dari RT, RW, karang taruna.

"Di desa-desa yang saya ampu, wajib menghadirkan perwakilan penyandang disabilitas, jika ada," ujar Sapto.

Di musyawarah desa itu, dibahas pula besaran upah untuk program padat karya proyek pembangunan yang menggunakan dana desa. "Manfaat program padat karya adalah menyediakan lapangan kerja bagi penganggur, setengah penganggur, keluarga miskin, dan keluarga dengan balita gizi buruk," jelas Sapto.

Gotong royong

Para orang dewasa meneriakkan yel-yel untuk menyemangati diri mereka sendiri dan anak-anak mereka agar bersemangat belajar. Lima tahun sudah mereka mengupayakan sekolah paralel yang dekat rumah mereka agar anak-anak bisa menyelesaikan sekolah.

"Sebelumnya, anak-anak harus menempuh perjalanan sekitar empat kilometer untuk mencapai sekolah," kata salah satu guru SD paralel Wee Tame di Kecamatan Tana Righu, NTT, Enos Mandenas, Kamis (16/8).

Bagi anak-anak, menempuh perjalanan empat kilometer melewati jalan setapak naik-turun bukan hal yang ringan. Ini menjadi pemikiran para orang tua dan guru. Jika kondisinya begini terus-menerus, angka putus sekolah akan tinggi. Ataupun jika tetap lanjut kegiatan belajarnya tak berjalan dengan baik.

Karena itu, para orang tua yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah itu berinisiatif mengadakan kelas paralel. "Masyarakat bersama guru-guru di SD induk bikin sekolah di dusun," ujar Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kecamatan Tana Righu, Kabupaten Sumba Barat, Dominikus Tamu Ama.

Meski belum ada tempat khusus, kelas pun segera diadakan. Berpindah-pindah tempat pun tak jadi soal lantaran, saat itu siswa yang jarak rumahnya empat kilometer dari lokasi sekolah ada 40 anak. Kadang belajar di bawah pohon, kadang di posyandu, kadang di gereja. Hingga akhirnya ada warga yang menghibahkan kebunnya untuk lokasi kelas.

Maka, tiga kelas berlantai tanah, berdinding bambu, dan beratap ilalang yang diupayakan oleh para orang tua pun berdiri. Dinamailah SD paralel Wee Tame yang berjarak empat kilometer dari SDN Wee Tame. Maka, ketika kelas berdinding bambu itu jadi, 40 siswa itu segera memanfaatkan untuk belajar. Jalan menuju lokasi kelas paralel ini masih jalan setapak.

Wee Tame merupakan dusun di Desa Lolo Wano yang memiliki SDN Wee Tame. Lokasi SDN Wee Tame sekitar 450 meter dari pusat Desa Lolo Wano dan sekitar 6,4 km dari kantor Kecamatan Tana Righu.

Setahun setelah kelas paralel berdinding bambu digunakan, jalan setapak ke lokasi dilebarkan dan diaspal. "Tahun 2014 dibangun jalan ke sini menggunakan dana PNPM," ujar Kepala Desa Lolo Wano, Dominggus Dapa Tabi, di SD paralel Wee Tame.

Meski, banyak orang tua yang memiliki keinginan kuat anaknya bisa melanjutkan sekolah, tetapi tetap saja ada orang tua yang belum bisa menyisihkan anggaran untuk pendidikan tinggi anak-anaknya. Memiliki ternak kerbau, bukan dijadikan tabungan untuk pendidikan anak, melainkan untuk keperluan pesta pemakaman.

Desa Lolo Wano bisa meniru Desa Nita, Kabupaten Sikka, yang menganggarkan beasiswa pendidikan dari dana desa. Lolo Wano juga bisa meniru Desa Nita yang menyediakan lahan rumah tunggu dari dana swadaya, tetapi pembangunan rumah tunggu menggunakan dana desa.

Maka, setelah berswadaya mengadakan lahan sekolah sekaligus membangun bangunan darurat sekolah paralel, ada baiknya segera mengambilkan anggaran dari dana desa untuk membangun gedung sekolah paralel. "Tidak diizinkan dibangun dari dana desa, karena wewenang dana desa hanya sebatas PAUD," ujar Dominggus Dapa Tabi.

Menurut Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Desa Kemendes Rasharul Sjahruzar, jika keinginan itu merupakan keinginan warga dan menjadi keputusan musyawarah desa, pembangunan gedung kelas paralel itu bisa memanfaatkan dana desa. Rasharul menyarankan, tentu saja hal itu dikonsultasikan juga dengan pejabat berwenang di kabupaten.

"Otonomi desa dengan kewenangan desa harus dimulai dari desa sendiri, sambil  memperhatikan regulasi dan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya pikir tak perlu takut untuk melakukan sesuatu yang penting semata-mata demi kesejahteraan umum," tutur Kepala Desa Nita, Antonius Luju, ketika dimintai komentar soal kasus seperti di Wee Tame.

Di Desa Lolo Wano ada 243 keluarga, sebanyak 63 keluarga merupakan keluarga miskin. Mayoritas pekerjaan bertani/berkebun, dengan andalan jambu mete sebagai komoditasnya. Namun, saat ini jambu mete mentah sedang jatuh harga. "Pernah Rp 22 ribu per kilogram, sekarang hanya Rp 15 ribu per kilogram," ungkap mantan kades Lolo Wano, Dominggus Baiyo.

Dusun Wee Tame berada di perbatasan dengan wilayah Sumba Tengah, berjarak sekitar 26 km dari Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Kepala SDN Wee Tame Simon B Buma mengatakan SDN Wee Tame sudah ada sejak 1963.

Di masa lalu, kata Dominggus, siswa berjalan kaki menempuh jarak empat kilometer tak ada masalah karena badannya besar-besar. "Anak-anak sekarang badannya kecil-kecil, tak kuat jalan empat kilometer," ujar Dominggus.

Lima tahun kelas paralel berjalan, sudah meluluskan 26 murid. Pada 2018 menerima 21 murid baru. "Jumlah keseluruhan murid SDN Wee Tame ada 219 murid, 123 di antaranya ada di sekolah paralel," jelas Simon.

Swadaya warga

Kecamatan Eban jaraknya 30 kilometer dari Kupang. Berada di wilayah perbatasan, Puskesmas Eban melayani 16 ribu warga di 13 desa. Puskesmas yang memiliki empat perawat itu sejak 2010 tak memiliki dokter.

Kepala Puskesmas Eban Clara Theresia Boleng merasa kondisi puskesmas dalam keadaan terpuruk. Jika mengajukan sesuatu ke dinas, kata Clara, "Dipenuhi ya syukur, tak dipenuhi ya harus diterima. Pasrah. Maka, pelayanan kesehatan pun dijalankan seadanya saja."

Jika ada persalinan, ibu hamil jarang datang di puskesmas. Persalinan di rumah penduduk. "Harus tolong persalinan di rumah bulat di cuaca yang dingin, ngapain keliling, enak tetap duduk di puskesmas," kata Clara mengenai kondisi puskesmas.

Hingga datang masanya, anjuran melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan layanan kesehatan. Masyarakat dilibatkan memberi penilaian tentang fasilitas kesehatan, layanan kesehatan, dan hal-hal yang mereka perlukan, sehingga perlu diadakan untuk mendukung layanan itu. "Dengan aksi ini, masyarakat terlibat dan didengar bupati," ujar Clara.

Masyarakat pun mengetahui layanan dasar yang perlu mereka dapatkan. Hal itu, menurut Clara, mendorong mereka untuk bersedia berkunjung ke puskesmas ataupun pos kesehatan pembantu.

Untuk memfasilitasi warga yang jarak rumahnya jauh, rumah tunggu pun dibangun di desa-desa. Rumah tunggu diperlukan untuk pasien ibu hamil yang hendak melahirkan sehingga dekat dengan pusat layanan kesehatan.

Di Desa Nita misalnya, warga bersedia berswadaya iuran untuk membeli lahan lokasi rumah tunggu. Lahan dibeli warga, gedung dibangun dengan dana desa. "Masyarakat bukan menuntut saja. Ada hal-hal yang tak bisa dianggarkan desa seperti lahan untuk rumah tunggu, mereka urunan untuk membelinya," ujar Maria Veridiana Wuga, ketua Tim Fasilitator Kesehatan Ibu dan Anak Desa Nita.

Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes Eni Gustina mengatakan hal-hal yang telah dilakukan di NTT ini sesuai dengan Program Indonesia Sehat yang dilaksanakan lewat pendekatan keluarga. Ini bagian dari pemberdayaan masyarakat yang sudah diatur dalam peraturan menteri kesehatan.

"Masyarakat lihat solusi, lalu cari aksi bersama dengan aparat dan pemberi layanan," ujar Eni.

Memunculkan partisipasi masyarakat dinilai Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Kementerian PPN/Bappenas Sumedi Andono Mulyo sebagai pemberian hak dasar masyarakat. Sumedi menyebut hak-hak dasar yang dicantumkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-1019.

Pemenuhan kebutuhan pangan, pemenuhan gizi, pembenahan manajemen organisasi, merupakan bagian dari hak-hak dasar yang harus dipenuhi. Peningkatan pelayanan dasar, menurut Sumedi diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan. "Pemerintah melindungi hak dasar itu," ujar dia.

Wahana Visi Indonesia (WVI) mencatat, dari 60 desa di 11 kecamatan yang berada di Kupang, TTU, dan Sikka, setidaknya memerlukan 297 pertemuan untuk meningkatkan partisipasi warga dalam penilaian terhadap layanan dasar kesehatan. Untuk pendidikan warga, dilakukan 219 pertemuan yang diikuti 9.680 warga.

Aksi skala desa yang melibatkan warga pun meningkat. Jika pada 2015 baru ada 575 aksi, pada 2016 meningkat menjadi 815 aksi dan pada 2017 menjadi 1.258 aksi. Aksi-aksi ini melibatkan musyawarah desa untuk pemanfaatan anggaran dari dana desa.

Pelayanan yang berubah

Dalam pelayanan kesehatan, warga juga memiliki suara. Mereka yang tak menginginkan bidan yang judes akan meminta bidan bersikap lebih ramah. Bidan di polindes di Desa Nita Kabupaten Sikka pernah mengalami hal itu.

"Sekarang bidannya sudah senyum ramah, setelah di kartu penilaian bidannya dibilang suka marah-marah," ujar Veridiana.

Bidan di polindes Nita itu pun kini tak lagi seorang diri. Ketika masyarakat hanya meminta tambahan satu bidan dusun untuk membantu bidan desa, kepala desa malah menambah tiga bidan. "Di desa kami ada tiga dusun, sekarang masing-masing punya satu bidan yang membantu bidan desa," jelas Veridiana.

Kepala Desa Nita Antonius Luju berhasil membangun kesadaran kolektif warganya untuk menjadikan desa mandiri. Ia memberanikan diri mengunjungi rumah-rumah warga mencari tahu penyebab hilangnya partisipasi. Ia menemukan dua hal, yaitu warga menganggap aparat desa tidak terbuka dan jika ada keputusan yang telah dibuat bersama, ternyata pelaksanaannya tak bisa dipertanggungjawabkan.

Maka, Antonius pun mendorong masyarakat memunculkan partisipasi. Anak-anak, remaja, lansia, RT, RW, semua diminta berpartisipasi. Ia pun menegaskan komitmen keterbukaan dalam penetapan anggaran dari dana desa.

Pamflet dan infografis pun ia buat dan disebar, sehingga masyarakat mengetahui setiap program yang dirancang bersama dan mengetahui pula rincian anggarannya. Ia memerlukan sekitar setahun untuk menumbuhkan partisipasi itu. "Partisipasi terbukti meningkat, setelah itu dapat hasil di lomba desa Kemendagri," ujar Antonius.

Polindes sudah ada, tetapi masih kurangnya sarana-prasarana dialami Desa Koting A, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka. Warga merasakan kekurangan itu, sehingga mencetuskan usulan pengadaannya yang kemudian diputuskan lewat musyawarah desa dan anggarannya diambilkan dari dana desa.

Di polindes itu belum ada air bersih. Mata air jaraknya puluhan kilometer. Untuk kebutuhan rumah tangga, sudah ada bak-bak air yang diadakan pada 2017, tetapi belum menjangkau polindes yang dibangun belakangan.

photo
Posyandu Lansia di Desa Koting A, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (Foto: Dokumentasi Vinsensia Meo).

Saat ini sedang direalisasikan pengadaan instalasi air bersih di polindes itu, memenuhi keinginan warga. "Dana pengadaan instalasi air bersih di polindes tahun ini dari dana desa," jelas Vinsensia Meo, bidan yang baru tiga tahun bertugas di Desa Koting A.

Desa Koting A, menurut Vinsensia, kondisinya lebih beruntung dari desa-desa lain di NTT. Jarak terjauh yang harus ia jalani ketika berkunjung ke rumah warga hanya empat kilometer. Di daerah lain, ada kampung yang jaraknya 17 km dari kantor desa.

Meski naik turun bukit, ia jalani dengan berjalan kaki ketika ada warga yang tidak melakukan kunjungan posyandu. Kunjungan ke rumah juga dilakukan untuk timbang anak jika ada orang tua yang tidak mengantar anaknya ke posyandu.

Kendati begitu, ia mengakui, kunjungan warga ke posyandu terus bertambah tiap bulannya. "Untuk angka kematian ibu dan anak, sejak tahun 2009 sudah tidak ada," ujar Vinsensia.

Contoh dari Timur

Gedung SDN di Desa Saenam Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibangun pada 1986 itu sudah rusak bagian atapnya. Warga pun menginginkan segera ada perbaikan agar kegiatan belajar-mengajar tidak terganggu.

Namun, tak ada respons positif dari pemkab. Warga pun bersepakat renovasi menggunakan dana desa. "Masyarakat menganggap ini kondisi darurat sehingga tiga ruang kelas itu harus segera diperbaiki," ujar Kepala Desa Saenam, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Yohanes Fobia, Jumat (21/9).

Maka, untuk memenuhi aspirasi masyarakat dari musyawarah desa Juli tahun lalu, anggaran dari dana desa disediakan untuk renovasi pada 2018. Dana belum juga dicairkan, tim audit dana desa turun ke Saenam meminta alokasi dana desa untuk renovasi tiga ruang kelas SD itu dibatalkan. Alasannya tidak sesuai peruntukan. Renovasi gedung sekolah milik negara tak bisa memakai anggaran dari dana desa.

Menurut Tim, kata Yohanes, gedung sekolah adalah milik pemerintah sehingga renovasi menjadi tanggung jawab pemda, sehingga anggarannya diambilkan dari APBD. Gagal memakai dana desa, usaha lain dilakukan. Ketika ada kunjungan anggota DPRD TTU saat reses, kondisi gedung sekolah diadukan.

photo
Akuntabilitas sosial di Desa Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, diwujudkan dengan keterbukaan informasi melalui poster APBDes (Foto: Dokumentasi Antonius Luju).

Anggota DPRD yang mendapat aduan segera bertindak. Dana fasilitas desa pun dia minta ke pemda untuk dikucurkan, dan pada September lalu renovasi bisa dimulai. Selama renovasi berlangsung, kata Yohanes, kegiatan belajar-mengajar dibagi masuk pagi dan siang agar bisa memanfaatkan ruang kelas yang ada secara bergantian.

Kendati gedung sekolah sudah teratasi, Yohanes masih masygul soal pemakaian dana desa yang dinilai tak sesuai peruntukannya. Padahal, hal itu sudah diputuskan di musyawarah desa berdasarkan kemauan masyarakat yang dimulai dari musyawarah dari tingkat RT/RW Februari tahun lalu.

Tahun ini, program yang terlaksana dengan biaya dari dana desa adalah pembangunan gedung PAUD dan perpustakaan desa. "Hasil musyawarah desa tahun ini, tahun depan akan dianggarkan dana desa untuk beasiswa anak-anak SD hingga SMA," ujar Yohanes.

Kepala Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Antonius Luju, memilih menaati ketetapan UU. Nita beruntung karena gedung-gedung sekolahnya masih layak digunakan, sehingga tak perlu menganggarkan dana desa untuk fasilitas milik pemerintah itu. Karenanya, untuk sekolah misalnya, ia tak akan menyediakan anggaran untuk renovasi, kecuali itu sekolah milik desa seperti PAUD.

Sesuai aspirasi warga yang diputuskan lewat musyawarah desa, untuk mendukung pendidikan diambilkan dari dana desa berupa anggaran bantuan fasilitas ekstrakurikuler dan beasiswa. "UU hanya membolehkan penggunaan dana desa untuk sarana-prasarana pendidikan yang dikelola desa," kata Antonius, Ahad (23/9).

Untuk penggunaan dana desa, Desa Nita telah melibatkan masyarakat sejak awal lewat musyawarah di berbagai tingkatan, hingga terakhir di musyawarah desa. Program yang disusun berdasarkan aspirasi warga itu pun kemudian dipublikasikan di desa, agar warga bisa ikut melakukan pengawasan. Tak heran jika pada 2016, desa ini menjadi juara pertama lomba desa tingkat nasional yang diadakan Kemendagri.

Melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa bukan pekerjaan mudah. Antonius mengakui memerlukan waktu setahun untuk menumbuhkan kesadaran kolektif perlunya keterlibatan masyarakat.

Dengan sabar ia berkunjung ke rumah-rumah warga dari waktu ke waktu. Ia dengarkan segala keluh kesah warga. Ia mendapatkan kesimpulan warga apatis karena hal-hal yang dulu pernah disepakati bersama tak ada realisasinya. Karena itu, Antonius perlu meyakinkan warga bahwa di masa kepemimpinannya, keterlibatan mereka diperlukan untuk membangun desa bersama-sama.

Hal sebaliknya justru dialami Kepala Desa Bokong, Kabupaten TTU, Nitanel Atimeta. Nitanel memerlukan waktu ketika warganya sudah memulai melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu hal yang terasa ketika warga terlibat adalah munculnya kritik-kritik pedas kepada aparat desa dan penyedia layanan.

Nitanel sempat menunjukkan ketidaksenangannya kepada warga, ketika warga sudah memulai diskusi-diskusi kecil membahas permasalahan desa. Di diskusi-diskusi itu warga mengumpulkan hal-hal yang diperlukan untuk perbaikan desa.

Diskusi-diskusi itu melibatkan laki-perempuan dan Nitanel memandangnya sebagai hal negatif. "Bapak-ibu tak boleh berdekatan," ujar Nitanel menyampaikan alasan ketidaksenangannya terhadap kegiatan diskusi-diskusi itu.

Namun, begitu ia mendapatkan penjelasan dari tim pendamping tentang perlunya membangun partisipasi masyarakat dan diskusi dengan kepala desa lain, ia berubah pikiran. Ucapan jujur dan pedas dari warga menjadi obat baginya. Apalagi, tujuan dari forum-forum musyawarah itu bukan untuk menjatuhkan, melainkan demi kemajuan desa. Adanya dana desa membuat dirinya tak bingung lagi untuk memenuhi program-program yang diinginkan warga.

Permintaan warga akhirnya bisa ia penuhi. Misalnya, ketika warga memerlukan posyandu, ia bisa memenuhi secara bertahap lewat anggaran dari dana desa. Saat ini sudah ada tujuh posyandu dan satu polindes yang dibangun di Bokong –desa yang memiliki lima dusun dengan sembilan RW. Tiga bidan dan satu perawat juga direkrut untuk mengelola polindes dan posyandu itu, dengan anggaran dari dana desa juga.

Namun, di Desa Saenam, Yohanes Fobia pusing dengan hasil audit yang memintanya mengembalikan dana desa yang digunakan untuk merenovasi polindes. Jumlahnya sekitar Rp 8 juta. "Padahal penggunaan dana desa itu sudah dikonsultasikan dengan Dinas Kesehatan dan musyawarah desa dan dibuatkan berita acaranya juga," ujar Yohanes.

Dana itu, semula adalah dana bidan sebesar Rp 1 juta per bulan, dan sudah dianggarkan untuk satu tahun. Baru empat bulan bertugas, bidan melanjutkan sekolah, sehingga atas persetujuan Dinas dan hasil musyawarah desa, sisa dana dialihkan untuk renovasi polindes.

Kasus lain juga dialami Yohanes Fobia dalam pembangunan jalan. Realiasi pembangunannya melebihi volume yang ditetapkan dalam rencana pembangunan. Hal itu terjadi lantaran anggaran untuk tenaga kerja dipakai lagi untuk membangun jalan.

"Masyarakat sepakat anggaran tenaga kerja pembangunan jalan itu tidak dibagikan, karena masyarakat bersemangat bergotong royong, sehingga dana itu diputuskan untuk digunakan menambah volume jalan yang dibangun," ujar Yohanes. Namun, tim audit menilai lain. Yohanes diminta mempertanggungjawabkan hal itu juga, kendati sudah ada berita acara, notulensi musyawarah.

Untuk pemenuhan hak-hak dasar yang memanfaatkan dana desa memang masih memerlukan pemahaman bersama. Seperti yang dialami Desa Saenam misalnya, musyawarah desa sudah memutuskan perlunya renovasi gedung sekolah. Masyarakat desa, kata Yohanes, menilai kondisinya darurat, sehingga gedung sekolah perlu segera direnovasi. Maka, musyawarah desa pun menganggarkannya.

photo
Renovasi gedung SD Inpres Tubmanu di Desa Saenam, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (Foto: Dokumentasi Yohanes Fobia)

Tim audit tak menyetujuinya dan meminta agar anggaran dana desa untuk renovasi gedung sekolah dibatalkan. Menurut Yohanes, tim audit menilai dana desa tak bisa dimanfaatkan untuk renovasi gedung yang bukan milik desa.

Pasal 5 Permendes No 22 Tahun 2016 menyebutkan pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat dan pendidikan-kebudayaan. Hal-hal itu, menurut pasal ini harus sesuai dengan kebutuhan desa. Keputusannya pun harus ditetapkan lewat musyawarah desa.

Selaras dengan ketentuan ini, Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Desa Kemendes Rasharul Sjahruzar, mengatakan dana desa bisa dimanfaatkan untuk program darurat yang sudah diputuskan lewat musyawarah desa. "Dalam hemat saya, kalau itu kegiatan masyarakat berskala desa, bisa, asal sudah keputusan dari musyawarah desa," ujar Rasharul saat dihubungi Selasa (25/9). Namun Rasharul mengingatkan agar hal tersebut tetap dikonsultasikan juga ke pejabat yang berwenang di kabupaten.

Korupsi dana desa

Selama 2015-2018, daan desa yang dinerikan ke 74.954 desa sudah mencapai Rp 186 triliun. Tujuan akhir dari pengucuran dana desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Maka, dengan dana desa itu, diharap jumlah penduduk miskin berkurang dan kesenjangan antara kota dan desa pun menipis.

Namun, dana desa yang berlimpah itu menjadi sumber korupsi. "Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga semester I tahun 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun," ujar Egi Primayogha, peneliti ICW, Selasa (20/11).

Kasus korupsi dana desa dalam kurun waktu itu mencapai 181 kasus dengan 184 tersangka korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp 40,6 miliar. Kepala desa menjadi tersangka terbanyak, 141 orang. Sebanyak 41 tersangka lainnya adalah aparat desa, dan ada dua tersangka merupakan istri kepala desa.

Menurut catatan ICW, korupsi dana desa pada 2015 ada 17 kasus dengan 15 kepala desa yang menjadi tersangka. Pada 2016 meningkat menjadi 41 kasus dengan 32 kepala desa yang menjadi tersangka dan pada 2017 melonjak drastis menjadi 96 kasus dengan 65 kepala desa yang menjadi tersangka. "Pada semester pertama 2018 terdapat 27 kasus, sebanyak 29 kepala desa menjadi tersangka," ujar Egi.

Untuk mengurangi kasus korupsi dana desa, ICW dan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yasentel) Flores Timur, NTT, menggelar Sekolah Antikorupsi (Sakti) pada 6-9 November 2018. Pesertanya ada 26 orang, terdiri dari kepala desa dan sekretaris desa. Sakti ini bertujuan mendorong aparat desa tidak melakukan korupsi.

Peserta mendapatkan materi isu korupsi dan permasalahan korupsi anggaran desa dan dana desa. Peserta ini pun kemudian menandatangani pakta integritas untuk tidak melakukan korupsi.

"Sakti berhasil mengidentifikasi hal-hal yang dapat menjadi penyebab potensi korupsi penyelewengan anggaran desa, hambatan dalam pengelolaan anggaran desa beserta rekomendasi perbaikan tata kelola dana desa yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan," ujar Benyamin Daud, direktur Yasentel, Selasa (20/11).

Hasil identifikasi itu menyebutkan, minimnya kompetensi aparat desa, tidak adanya transparansi, adanya intervensi atasan, tak adanya pengawasan, antara lain telah menjadi penyebab adanya korupsi dana desa. Pencairan dana desa yang masih memerlukan rekomendasi camat, lemahnya kapasitas kepala desa dan aparat, BPD yang kurang memahami tupoksi, miskomunikasi kepala desa dengan BPD, partisipasi masyarakat yang rendah, menjadi bagian dari hal-hal yang menghambat pengelolaan dana desa.

Karena itulah Sakti memberikan rekomendasi. Beberapa rekomendasi yang diajukan, antara lain perlunya peningkatan kapasitas bagi seluruh perangkat desa dan seluruh pelaksana pembangunan di desa, perlunya bimbingan teknis bagi aparatur desa, perlunya menghapus rekomendasi camat untuk pencairan dana desa.

Sakti yang diadakan ICW ini bisa mendorong penyelenggaraan akuntabilitas sosial  dilakukan dengan dialog. Partisipasi masyarakat di tingkat desa bisa dimunculkan dengan cara tidak konfrontatif.

Di acara Festival Pembelajaran Program Akuntabilitas Sosial, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Kementerian PPN/Bappenas Sumedi Andono Mulyo, juga menekankan hal itu. Festival itu diadakan Bappenas, WVI, Global Partnership for Social Accountability (GPSA), dan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia (Kompak), Kamis (6/9).

"Pelaksanaan akuntabilitas sosial tidak menekankan pada konfrontasi, tapi komunikasi dan dialog yang konstruktif di antara warga, penyedia layanan, dan pembuat kebijakan," ujar Sumedi.

Kepala Desa Nita Antonius Luju meyakini, membuat desa mandiri bisa mempercepat kemajuan Indonesia. "Jika di desa di seluruh Indonesia bisa dimunculkan partisipasi kolektif, transparansi, dan akuntabilitas sosial, kita yakin Indonesia bisa maju dimulai dari desa," tegas Antonius.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement