REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, pihaknya tidak akan berkirim surat kepada Oesman Sapta Odang (OSO) terkait putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN. KPU memastikan belum akan mengambil tindakan soal putusan MA dan PTUN dalam waktu dekat.
Menurut Arief, posisi OSO dalam uji materi di MA dan PTUN sudah jelas, yakni menyengketakan syarat pencalonan anggota DPD. "Kemudian, keinginannya sudah tercermin dari putusan MA dan PTUN. Sementara itu, posisi KPU sendiri juga sudah disampaikan saat menjawab gugatan di MA dan PTUN," jelas Arief ketika dijumpai wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/11) sore.
Namun, yang sampai saat ini belum ditegaskan oleh KPU adalah sikap mereka atas dua putusan lembaga peradilan tersebut. Meski KPU berulang kali KPU menegaskan tetap menghormati dua putusan itu, Arief memastikan belum akan ada sikap yang diambil KPU dalam waktu dekat.
"Kami sudah merumuskan beberapa opsi untuk menindaklanjuti putusan PTUN dan MA. Dan juga agar tidak pula mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya sudah ada. Namun, pagi ini komisioner sudah terjadwal ada kegiatan, kemudian malam juga sudah ada agenda. Jadi kemungkinan hari ini kita belum menggambil keputusan," tegasnya.
Arief juga menampik anggapan bahwa KPU masih ragu untuk memutuskan dan masih ada perbedaan pandangan di antara komisioner soal kasus OSO ini. Menurut Arief, jika tujuh komisioner bertemu, maka mereka hanya tinggal membahas soal opsi mana yang memiliki peluang risiko terkecil. Selain itu, dia juga menyebut akan membuat keputusan yang mudah diimplementasikan dan mudah diterima semua pihak. Arief pun menuturkan, KPU tetap punya deadlien untuk menindaklanjuti putusan MA dan PTUN.
"Kami tetap ada deadline, mudah-mudahan pekan ini bisa selesai. Semua komisioner sudah menerima informasi tentang opsi-opsi untuk menindaklanjuti dua putusan. Kami akan pilih menyikapinya dengan langkah yang minim risiko, tidak bertentangan dengan regulasi. Kalau KPU hanya ikut putusan MK yang sebelumnya, maka nanti dianggap melawan MA, sementara kalau menjalankan putusan MA, dianggap tidak mematuhi MK," jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari dan koalisi masyarakat sipil peduli pemilu memberikan masukan kepada KPU soal putusan MK, MA dan PTUN. Mereka meminta KPU tetap mematuhi dan menjalankan semangat yang ada dalam putusan MK.
Adapun saran dari mereka yakni, pertama, KPU bisa menyurati OSO untuk segera mematuhi putusan MK dengan memberikan surat kesanggupan pengunduran diri sebagai pengurus parpol. "Dengan sikap ini tentu saja kami harapkan mampu berbesar hati mematuhi banyak putusan peradilan yang ada tanpa kemudian menimbulkan perdebatan ketatanegaraan yang ada di masyarakat saat ini. Jadi itu pilihan paling negarawan bagi pak oso ya. Agar beliau sendiri yang bergerak menghilangkan kekisruhan ini," tegas Feri.
Sebagaimana diketahui, MA menyatakan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD tidak bisa diberlakukan. Alasannya, syarat pencalonan yang tertuang dalam pasal 60 A PKPU tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf dan dan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.
Putusan atas gugatan yang diajukan oleh OSO ini juga menyebut bahwa pasal 60 A memilikin kekuatan hukum yang mengikat. Namun, MA menegaskan pasal ini berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut kepada peserta pemilu calon anggota DPD yang sudah mengikuti rangkaian Pemilu 2019.
Setelahnya, pada 14 November 2018 PTUN memutuskan mengabulkan gugatan OSO terkait pencalonan anggota DPD. PTUN juga menyatakan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dibatalkan.
Selain itu, PTUN meminta KPU mencabut mencabut surat keputusan Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019. Selanjutnya, PTUN meminta KPU menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
Kedua putusan itulah yang sampai saat ini menjadi polemik dan belum ada tindaklanjut dari KPU. Sebab, di sisi lain ada putusan MK yang berbeda dengan putusan MA. Putusan MK juga tidak sejalan dengan putusan PTUN.
Adapun putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.
Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.