REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas menyatakan politik identitas sering digunakan dalam kontestasi politik elektoral beberapa tahun terakhir. Ia mengatakan politik identitas itu berpotensi akan semakin masif jika tidak diminimalkan dan ditangani sejak dini.
"Perilaku ini bisa menular bahkan sampai tingkat elektoral terkecil seperti pemilihan RT atau RW. Padahal politik identitas ini bisa memicu praktik intoleransi di masyarakat dan mengganggu kebinekaan," kata Cahyo di Jakarta, Selasa (4/12).
Cahyo menyebut dengan wilayah yang sangat luas, politik identitas ini juga bisa berimbas ke seluruh daerah. Akibatnya, berpotensi menimbulkan kesenjangan antara minoritas dan mayoritas.
"Jadi akan semakin mengganggu semangat kebangsaan dan kebinekaan. Saya khawatir akan digunakan di daerah luar Jawa misalnya, karena kan mereka meniru apa yang dilakukan di Jakarta. Terus terang apa yang dilakukan di Jakarta adalah politik identitas," kata Cahyo.
Penelitian yang dilakukan Cahyo bersama timnya yang tergabung dalam Satuan Kerja Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI memang mengulas tentang meningkatnya intoleransi dan radikalisme berbasis keagamaan serta etnisitas baik yang terjadi di dunia nyata dan maya. Penelitian itu merangkul 200 responden di masing-masing provinsi yang diteliti, yakni Aceh, Sumatra Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Hasilnya, ditemukan kalau intoleransi politik lebih tinggi dibanding intoleransi sosial. "Hal tersebut merupakan implikasi dari penggunaan politik identitas yang masif dalam pilkada serentak 2018 dan pilkada pada tahun 2017 untuk kasus DKI," kata dia.