REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Arif Satrio Nugroho
Polri menyerahkan dugaan malaadministrasi yang ditemukan Ombudsman Republik Indonesia terkait pengusutan kasus penyerangan Novel Baswedan kepada Polda Metro Jaya. Sejak awal, kasus Novel ditangani Polda Metro Jaya. "(Polda yang harus tindak lanjuti) Karena sedari awal yang menangani sudah Polda Metro Jaya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, Jumat (7/12).
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengalami penyerangan berupa penyiraman air keras berjenis asam sulfat atau H2SO4 pada Selasa 11 April 2017. Ia diserang usai menunaikan shalat Subuh di Masjid dekat kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Novel sempat menjalalani perawatan intensif di Singapura untuk menyembuhkan luka di matanya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono menuturkan, pihaknya telah menerima laporan dugaan malaadministrasi tersebut. Menurut dia, Polda akan mempelajari laporan tersebut. "Nanti akan dipelajari apa temuannya, nanti akan djawab dengan waktu 30 hari," kata Argo.
Argo mengklaim, sejauh ini kepolisian sudah sesuai prosedur dalam menyelidiki penyerangan terhadap Novel Baswedan. Penyidik menerapkan dua metode penyidikan, yakni induktif dan deduktif berdasarkan data dari olah tempat kejadian perkara (TKP).
Dari hasil olah TKP, kata dia, penyidik menemukan beberapa saksi, informasi, sejumlah barang bukti, dan orang yang dicurigai. "Sudah kita lakukan cek alibi, cek alibi sampai sekarang belum menemukan (pelaku). Karena cek alibi jelas, dari mereka pergi, misalnya pergi ke Malang, kita bisa melihat dari CCTV, tiketnya, di Malang //ngapain//, mengambil di ATM pun kita tahu. Hari per hari udah ketahuan," kata Argo.
Argo menambahkan, cek alibi masih tetap diupayakan melalui metode induktif atau berdasarkan motif dari keterangan Novel dan keluarga. Namun, polisi belum mendapatkan informasi tersebut. "Sampai sekarang pun kita belum dapat informasi kira-kira dari pekerjaan itu apa, masih menunggu kira-kira apa yang dia (Novel) pernah menangani kasus apa, apakah ada perasaan terancam atau tidak," kata Argo.
Pada Kamis (6/12), Ombudsman memaparkan setidaknya ada empat malaadministrasi minor dalam penanganan kasus Novel. Keempatnya adalah aspek penundaan berlarut penanganan perkara, efektivitas penggunaan sumber daya manusia, pengabaian petunjuk yang bersumber dari Novel Baswedan sebagai korban dan aspek administrasi penyidikan (mindik). Temuan itu dari hasil investigasi sejak 11 April 2017 hingga September 2018.
Komisioner ORI Adrianus Meliala mengatakan, dengan temuan itu, Ombudsman meminta jajaran penyidik kepolisian memanggil kembali Novel. Pemanggilan itu dinilai berpotensi membuka petunjuk baru, sehingga pelaku dapat segera ditangkap dan diadili oleh penegak hukum.
Menurut dia, salah satu penyebab mandeknya proses hukum kasus Novel adalah keterangan dari korban yang belum masuk berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian. Alhasil, penyidik kesulitan melakukan pemeriksaan yang seharusnya berlandaskan pada BAP.
Berbeda dengan polisi dan Ombudsman, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap menegaskan Novel sudah diperiksa polisi berkali-kali. Pemeriksaan didampingi langsung oleh pimpinan KPK, baik di Indonesia maupun pada saat masih dirawat di Singapura.
"Keterangan Novel sudah dituangkan di dalam BAP yang setidaknya berjumlah sembilan halaman," kata dia.
Karena itu, menurut Wadah Pegawai KPK, tidak tepat bagi pihak manapun, baik perorangan maupun lembaga membebankan pembuktian tindak kejahatan yang dialami seseorang kepada korban kejahatan itu sendiri. Jika itu yang terjadi, kata dia, sudah menyesatkan logika hukum.
"Novel adalah orang yang disiram wajahnya dengan air keras hingga mengakibatkan cacat permanen kedua matanya sampai hari ini. Membebankan proses pembuktian kepada pihak korban adalah tindakan yang sangat menyesatkan logika hukum dan akal sehat serta melukai keadilan di tengah masyarakat," katanya.
Yudi menambahkan, pengungkapan kasus Novel mempertaruhkan keseriusan negara dan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Caranya, kasus penyiraman air keras terhadap pelaku pemberantasan korupsi harus terungkap.
Yudi juga mengaku heran, pemerintah tidak membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus itu. "Saya tidak tahu mengapa Presiden tetap tidak mau membentuk TGPF. Padahal di sinilah komitmen pemerintah diuji, apakah pro atau tidak dalam pemberantasan korupsi," kata dia.