REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Penetapan hutan adat sebagai bagian dari skema perhutanan sosial di Indonesia masih terganjal minimnya aturan turunan di level pemerintah daerah (Pemda). Alasannya, penetapan hutan adat oleh pemerintah pusat baru terbit bila tersedia payung hukum berupa peraturan daerah (perda). Itu pun, satu perda harus mengatur satu hukum adat.
Salah satu contoh seretnya pengajuan status hutan adat terjadi di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, ada dua kawasan di Mentawai yang diajukan sebagai hutan adat yakni Silok Oinan dan Tua Pejat, masing-masing memiliki luas 5.000 hektare dan 2.000 hektare.
"Mentawai ini khas. Di sana banyak uma-uma (keluarga adat yang menguasai hutan). Pusat maunya, Pemda memiliki Perda yang spesifik sebutkan hutan adat untuk masyarakat adat yang mana. Sedangkan Mentawai baru memiliki Perda hutan adat secara umum," kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozawardi, Senin (10/12).
Kabupaten Mentawai sebetulnya memiliki Perda No. 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA). Namun produk hukum ini dianggap belum cukup kuat untuk mendorong lahirnya ketetapan hutan adat di Mentawai. Sebetulnya ada celah lain agar penetapan hutan adat bisa dilakukan lebih cepat, yakni pendelegasian wewenang perhutanan sosial dari menteri kepada gubernur. Namun cara ini pun masih harus menunggu keputusan pemerintah pusat.
"Izin bisa didelegasikan dari menteri ke Gubernur, bila ada anggaran yang jelas. Sumbar ini sudah ada, tinggal menteri berkenan ngga delegasikan. Kalau ini didelegasikan, target perhutanan sosial kita bisa dicapai," jelas Yoz.
Selain di Mentawai, usulan hutan adat juga diajukan untuk Malalo Tigo Jurai di Tanah Datar dengan luas usulan 5.100 hektare. Sebagai gambaran, izin perhutanan sosial merupakan legal akses yang dapat dipergunakan untuk memperoleh akses pemberdayaan, akses finansial, akses teknologi dan akses pemasaran hasil hutan. Cara ini dianggap jalan paling adil agar masyarakat adat bisa kembali mengakses hutan yang sudah mereka huni beratus tahun lamanya.
Akses legal pengelolaan kawasan hutan diberikan melalui lima skema pengelolaan, yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.