REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, partainya siap membiayai sistem Teknologi Informasi (TI) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk pengawasan dan kontrol penyebaran Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el). Gerindra menilai, jika sistem tersebut berjalan maka tidak akan lagi terjadinya kasus KTP-el.
"Gerindra meminta pemerintah lakukan audit internal secara menyeluruh termasuk membangun sistem IT karena biayanya murah. Kalau pemerintah tidak memiliki anggaran, kami akan membiayai pembuatan perangkat lunak IT tersebut," kata Riza di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/12).
Ia mengatakan perangkat lunak tersebut sangat sederhana sehingga masyarakat bisa tahu berapa jumlah KTP-E yang sudah dicetak, disebar dan kedaluwarsa. Riza meyakini kalau sistem tersebut berjalan maka tidak akan terjadi kasus KTP-el yang tercecer karena setiap detik secara riil time akan diketahui.
"KTP-el ini sangat berpotensi mengganggu, jangankan di musim Pemilu Presiden. Jadi tidak salah kalau masyarakat menduga-duga ada apa dari kasus KTP-el tercecer atau kecurangan karena saya sebagai peserta pemilu menilai pembuatan KTP-E tidak terbuka dan tidak transparan," ujarnya.
Riza yang merupakan Wakil Ketua Komisi II DPR itu mengaku prihatin kasus KTP-el tercecer di Duren Sawit karena sudah ketiga kalinya terjadi, sebelumnya ditemukan di Bogor dan Serang, Banten. Dia mengatakan kalau di daerah lingkungan Jadebotabek saja masih terjadi KTP-el tercecer, bagaimana dengan daerah-daerah lain seperti di pesisir dan pedalaman Indonesia.
"Jadi kami meminta Kemendagri sejak awal melakukan audit internal secara menyeluruh termasuk terhadap tenaga-tenaga internal. Begitu juga terkait protap dan prosedurnya harus dipastikan, tidak sekadar perintah," katanya.
Riza mengatakan pemerintah seharusnya memastikan prosesnya mulai pencetakan hingga penyerahan KTP-el transparan dan terbuka, jangan kalah dengan KPU RI. Menurutnya, KPU RI sudah bisa mengelola surat suara secara transparan dan terbuka, berapa yang dicetak berapa yang diserahkan, berapa yang digeser, berapa yang tersisa, kemudian diaudit lalu dipertanggungjawabkan per-Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Bayangkan KPU bisa mengaudit dan menjelaskan secara rinci surat suara per-TPS. Kenapa pemerintah tidak bisa menjelaskan berapa jumlah blangko yang dicetak, berapa yang disebar di setiap kabupaten, kecamatan dan kelurahan, berapa yang tersisa, berapa yang kedaluwarsa, kita belum pernah tahu," katanya.
Dia mengatakan masyarakat hanya tahu jumlah yang sudah merekam dan yang telah menerima KTP-E, selebihnya kita tidak tahu.