REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan vokasi merupakan salah satu tulang punggung dalam mencetak sumber daya manusia terampil dan berkualitas yang sangat dibutuhkan dunia industri. Untuk itu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tengah gencar merancang berbagai kebijakan revitalisasi agar pendidikan vokasi menjadi pilihan menarik bagi masyarakat.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Patdono Suwignjo mengatakan, pendidikan vokasi di Indonesia memiliki tiga tantangan yang harus diselesaikan. Pertama yaitu pola pikir masyarakat yang belum menempatkan pendidikan vokasi sebagai prioritas utama dalam melanjutkan pendidikan. Kedua, belum optimalnya keterlibatan dunia industri dalam pengembangan pendidikan vokasi. Dan ketiga, perguruan tinggi swasta belum mau membuat politeknik, sehingga jumlah pendidikan vokasi masih terbatas dan didominasi dari perguruan tinggi negeri.
"Selama ini para orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke universitas dibanding politeknik. Kita perlu menyadarkan masyarakat agar mau sekolah vokasi. Kita perlu buat politeknik menjadi pilihan yang menarik", ujar Patdono, Rabu (19/12).
Revitalisasi pendidikan vokasi, ucap dia, bertujuan untuk menyelaraskan kurikulum pendidikan vokasi agar sesuai dengan kebutuhan industri dan tantangan Revolusi Industri 4.0. Sehingga pendidikan Vokasi diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki berbagai sertifikat kompetensi.
"Saat ini, politeknik hanya ada 5,4 persen dari perguruan tinggi di Indonesia. Sementara data BPS menyebutkan bahwa lulusan universitas yang menganggur bertambah 10 persen, sedangkan lulusan pendidikan vokasi berkurang 30 persen,” jelas dia.
Patdono juga menekankan perlunya mengubah kurikulum pada pendidikan vokasi yang lebih mengacu pada industri. Kurikulum tersebut, menurutnya perlu mengacu pada kurikulum vokasi di Jerman yang mengaplikasikan dual system, yakni 50 persen pembelajaran di perguruan tinggi dan 50 persen praktik di industri.
Pendidikan vokasi diyakini dapat meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia di dunia kerja. Jika pendidikan di universitas melahirkan akademisi berijazah, maka pendidikan vokasi melahirkan tenaga terampil bersertifikat yang sudah tentu juga memiliki ijazah. Hal inilah yang menjadi nilai tambah yang dibutuhkan oleh industri.
"Pendidikan vokasi seperti politeknik tidak hanya memberikan ijazah karena ijazah kurang laku untuk digunakan melamar pekerjaan di industri, sedangkan yang laku adalah sertifikat kompetensi yang dikeluarkan dari lembaga kredibel,” tutur Patdono.