Ahad 23 Dec 2018 11:25 WIB

Adakah Hubungan Tsunami Selat Sunda dan Anak Krakatau?

Masih perlu banyak data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Rudy Suhendar
Foto: Republika/Bayu Adji P
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Rudy Suhendar

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meneliti hubungan aktivitas gunung anak Krakatau dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu, (22/12) malam. Kepala PVMBG Rudy Suhendar mengatakan aktivitas Anak Krakatau pada 22 Desember terjadi letusan, seperti hari-hari sebelumnya.

Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 hingga 1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor terus menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama muncul info tsunami.

Baca Juga

photo
Gumpalan awan menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten. (ilustrasi)

"Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami," katanya dalam keterangan resmi, Ahad (23/12).

Ia menerangkan alasan pertama yaitu ketika rekaman getaran tremor tertinggi selama ini sejak Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut. Kedua, material lontaran letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.

"Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masif yang masuk ke dalam kolom air laut. Dan untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi cukup besar. Ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunung api," jelasnya.

Ia menekankan masih perlu banyak data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami. Tetapi dari potensi bencana erupsi Krakatau dan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Anak Krakatau merupakan kawasan rawan bencana.

"Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius dua kilometer dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin," ujarnya.

photo
Suasana Pantai Karang Bolong, Anyer, Banten, Ahad (23/12).

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga Ahad (23/12), tingkat aktivitas Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, ia mengingatkan masyarakat tidak boleh mendekati Krakatau dalam radius dua kilometer dari kawah.

"Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement