REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Carut marut data pangan dinilai dapat terselesaikan melalui metode pengumpulan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yakni kerangka sampel area (KSA) yang diambil lewat citra satelit. Kendati begitu, hal tersebut dinilai masih belum cukup untuk mengatasi polemik perbedaan data pangan yang kerap kali muncul.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rachmat Pambudy mengatakan pemerintah perlu memiliki strategi pangan nasional dan strategi kebijakan pangan nasional. "Kalau kita sudah punya itu dan tahu arah strateginya kemana, kan kita tetapkan. Pangan kan banyak, harus punya kebijakan itu, supaya kita tahu apa sih kebutuhan kita dan apa yang kita produksi," ujar Rachmat.
Dengan strategi dan kebijakan tersebut, pemerintah dapat menentukan berapa kebutuhan karbohidrat, protein dan nutrisi lainnya untuk mencukupi kebutuan penduduk berdasarkan tingkat usia. Dia mencontohkan, kebutuhan ibu hamil, anak-anak dan lansia berbeda dengan kebutuhan orang dewasa.
Setelah menerapkan arah kebijakan pangan, pemerintah dapat menentukan neraca pangan berdasarkan suplai yang ada. Kemudian memproduksi sesuai kebutuhan masyarakat.
"Kenapa kita musti swasembada beras? Kenapa kita tidak swasembada karbohidrat? Karena karbohidrat sumbernya tidak hanya dari beras, bisa jagung, sagu, kentang dan lainnya. Sekarang belum ada strategi itu, harus punya strategi dulu, dari situ baru kita tetapkan kebutuhan, produksi dan kemampuan kita," papar Rachmat.
Menurut Rachmat, swasembada komoditas susah untuk dilakukan, karena berdasarkan kemampuan dan daya dukung masing-masing wilayah. Daripada swasembada komoditas, ia menyarankan untuk swasembada gizi.
Misalnya, swasembada protein, sehingga bisa berasal dari daging sapi, ikan atau ayam. Kemudian karbohidrat dapat berasal dari beras, jagung, sagu atau kentang. Ini akan menimbulkan diversifikasi pangan.
Swasembada regional
Selain itu swasembada juga bisa dilakukan per regional, bukan nasional. Seperti Jagung, yang dapat swasembada di daerah Gorontalo, NTT, dan NTB, namun tidak mungkin dilakukan di Papua.
"Jadi kalau harus impor jagung, tidak ada yang salah, justru menguntungkan, impor jagung murah sekali. Tapi kita tetap harus melindungi petani jagung dan jangan merugikan pakan ternak dan peternak," jelasnya.
Saat ini pun Indonesia dinilai telah swasembada beras. Meskipun ada impor sekitar 2 juta ton, jumlah tersebut tidak sebanding dengan produksi sekitar 40 juta ton.
"Jangan terlalu anti impor, kita anti kalo petani kita dirugikan. Tidak apa-apa selama kita impor, tapi petani kita terlindungi," katanya.
Sementara itu Ketua Kontak Tani Nelayan Indonesia (KTNA), Winarno Tohir, menilai
pengumpulan data stok beras oleh BPS yang menggunakan metode baru dinilai masih membingungkan.
Hal ini karena BPS baru merilis data 2018 dan tidak tahun-tahun sebelumnya, ia menilai data ini masih belum dapat sepenuhnya dijadikan patokan. Untuk itu, ia berharap data pangan ini dapat dikelola lewat satu pintu. Hal ini juga untuk menghindari pemerintah melanggar undang-undang terkait impor.
"Pemerintah seharusnya membentuk badan pangan nasional, itu tidak mungkin ribut. Karena melanggar jadi ribut semua," kata Winarno.
Selain itu, ia mengungkapkan adanya perbedaan antara perhitungan data luas areal di daerah dengan metode yang dilakukan oleh BPS.
Menurut laporan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, data yang dihimpun oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait luas lahan sawah jauh lebih kecil dari perhitungan yang dilakukan oleh pihak Pemprov. Kementerian ATR mencatat luas sawah di Sumut seluas 245.953 hektar, sedangkan Pemprov menghitung seluas 397.947,20 hektar.
"Baru satu bupati, data luas berbeda dengan yang ada. Dari petani yang tadinya dapat bantuan jadi tidak dapat bantuan, ini bisa rame, bisa ribut.
Lebih setuju data dari daerah dan kabupaten yang diakumulasi. Sudah lebih akurat," jelasnya.
Data stok beras nasional
Meskipun data BPS memiliki kesimpulan stok beras mencukupi dan kemungkinan tidak impor hingga pertengahan 2019, namun perlu ada akumulasi stok dari tahun lalu. Berdasarkan data BPS, pada 2018 tercatat surplus beras sebesar 2,85 juta ton.
"Tidak ada dari tahun lalu. Ini membingungkan. Apa bener surplus segitu? Kalau bener segitu, masyarakat Indonesia sekali makan 2,5 juta, berarti harus sesegera mungkin impor?" ujar Winarno.
Dia merinci, berdasarkan data Sucofindo pada Juni 2017 terdapat stok di masyarakat sekitar 8,1 juta ton. Kemudian ditambah dengan konsumsi per kapita, 29,6 juta ton, menjadi sekitar 40 juta ton.
"Jadi kesimpulannya impor itu tidak perlu. Tapi ini standar siapa, data BPS atau Bulog? Kalau yang dijadikan barometernya Bulog, petani dengan data Sucofindo kami sepakat sampai pertengahan 2019 tidak impor," tuturnya.
Sementara itu Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (BKP Kementan) menyatakan, stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Badan Urusan Logistik (Bulog) saat ini dalam kondisi aman. Sebab, total persediaan sejak Januari sampai November 2018 sebanyak 2,37 juta ton.
Kepala BKP Kementan Agung Hendriadi menyebutkan, stok awal CBP sebesar 232,8 ribu ton. Sedangkan pemanfaatan CBP sampai November sebesar 454,56 ribu ton, sehingga stok akhir per 30 November 2018 tercatat 2,15 juta juta ton.
Selain itu, terdapat stok CBP yang dikelola pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kota. Sampai akhir November, tercatat 4,03 ribu ton CBP pemerintah provinsi serta 4,62 ribu ton CBP pemerintah kabupaten.
"Ketersediaan beras juga diperkuat oleh cadangan beras di masyarakat. Kondisi stok beras yang ada di penggilingan pada minggu IV November diperkirakan mencapai 1,04 juta ton yang terdistribusi di penggilingan kecil 811 ribu ton atau 78,2 persen, penggilingan sedang 124 ribu ton atau 12 persen, serta penggilingan besar 101 ribu ton atau 9,8 persen," katanya beberapa waktu lalu.