REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Harian Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Maruf Amin, Rosan P Roeslani, menegaskan tanpa utang mustahil negara bisa menjalankan program pembangunan. Hampir semua negara di dunia memiliki utang luar negeri untuk menjalankan program pembangunan, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat.
Berbicara di hadapan forum "Ini Ker1a Ku", komunitas pendukung capres dan cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin, Rosan mengatakan, utang untuk membiayai pembangunan masih dibutuhkan sepanjang mematuhi batasan-batasan yang sudah ditetapkan peraturan dan perundangan. Disebutkan utang pemerintah mencapai Rp5.000 triliun, ini sebenarnya merupakan hal yang wajar.
Sbab, angka itu masih 30 persen dari PDB atau masih dalam batas aman karena peraturan mengharuskan sampai 60 persen. "Yang penting utang itu diperuntukkan bagi hal-hal yang produktif serta ada pengendalian. Bahkan dengan tingginya capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipastikan pembayaran utang sebesar itu akan selalu tertangani dengan baik," kata Rosan di Jakarta, Kamis (10/1).
Ia menunjuk pembangunan infrasruktur yang penanganannya diserahkan kepada badan usaha baik BUMN maupun swasta. Namun, untuk daerah-daerah tertentu yang hitungan bisnisnya tidak masuk maka pembangunan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
"Semua pembangunan infrastruktur dipastikan memanfaatkan utang karena merupakan investasi jangka panjang sehingga badan usaha yang menjalankan diberikan konsesi 25-30 tahun dengan opsi perperpanjangan," ujar Rosan.
Sedangkan anggota TKN lainnya, Bahlil Lahadalia yang juga hadir di komunitas ini menilai pemanfaatan utang pemerintah untuk infrastruktur dinilai sangatlah tepat mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur dibandingkan negara-negara tetangga.
Bahlil, pengusaha asal Papua ini mengatakan, Presiden Joko Widodo sangat perhatian dengan wilayah timur Indonesia seperti Papua yang sudah direalisasikan 10 ruas jalan sehingga membuka daerah-daerah terpencil di wilayah itu. "Kalau disebut langkah itu sebagai pencitraan juga tidak tepat kaeena penduduk yang berjumlah tiga juta jiwa. Nilai elektabilitas di Papua rendah. Namun Presiden memang sudah bertekat untuk membangun Papua agar setara dengan daerah lain di Indonesia," ujar Bahlil.