Jumat 18 Jan 2019 16:18 WIB

DBD 'Makan Korban' di Bogor

Masyarakat diminta mementingkan pola hidup bersih dalam mencegah DBD.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Gita Amanda
Foto-foto sarang perkembangbiakan jentik nyamuk di tempat penadangan air dispenser yang ada di sekolah di Kota Bogor, Jumat (18/1). Dari hasil investigasi Dinkes Kota Bogor, terdapat penularan penyakit DBD dari sekolah-sekolah.
Foto: Republika/imas
Foto-foto sarang perkembangbiakan jentik nyamuk di tempat penadangan air dispenser yang ada di sekolah di Kota Bogor, Jumat (18/1). Dari hasil investigasi Dinkes Kota Bogor, terdapat penularan penyakit DBD dari sekolah-sekolah.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Memasuki musim pancaroba, jumlah pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) terus meningkat di Kota Bogor. Data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, terdapat 47 warga Kota Bogor yang terkena penyakit menular itu sejak awal Januari 2019 hingga pertengahan bulan ini. Dari data tersebut, satu orang warga dilaporkan meninggal dunia akibat DBD.

“Pasien DBD yang meninggal itu berusia sembilan tahun, sebelum meninggal sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit tapi tidak tertolong,” kata Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Surveilance (P3MS) Dinkes Kota Bogor, Sari Chandrawati, di Kantor Dinkes Kota Bogor, Jumat (18/1).

Sari menjelaskan, tren peningkatan kasus DBD umumnya terjadi di musim pancaroba seperti sekarang. Sebab, kata dia, cuaca yang tak menentu antara hujan dan panas membuat potensi perkembangbiakan jentik nyamuk semakin subur. Umumnya proses reproduksi nyamuk aedes aegypti pada musim pancaroba dapat meningkat hanya dalam satu pekan saja.

Sementara itu Sari menjelaskan, kasus DBD rentan menjangkit kalangan usia sekolah berkisar 5-14 tahun. Untuk itu, kata dia, sejak pertengahan November 2018 pihaknya telah berkordinasi dengan camat dan lurah di semua wilayah untuk mengantisipasi penyakit DBD di Kota Bogor.

“Sudah kami kirimkan surat untuk bantu sosialisasi ke masyarakat terkait pentingnya pola hidup bersih. Dalam mencegah kasus DBD agar tidak terjangkit ke masyarakat, nggak bisa kita hanya lakukan seremonial, harus kontinyu pelaksanaannya,” kata Sari.

Menurutnya, peran serta masyarakat terkait pencegahan penyakit DBD perlu dilakukan. Penularan penyakit DBD bisa bersumber dari banyak aspek, mulai dari lingkungan rumah, sekolah, hingga lingkungan tempat kerja.

Dari hasil investigasi Dinkes Kota Bogor terkait pencegahan dan pengendalian DBD, terdapat  penularan penyakit DBD yang terjadi di lingkungan sekolah. Dia menjelaskan, saat mendapatkan laporan adanya pasien dengan kasus DBD yang terjangkit dari lingkungan sekolah, pihaknya segera melakukan sidak.

“Setelah kami sidak, ternyata ada banyak sekali jentik-jentik nyamuk di lima dispenser air minum di sekolah itu,” kata Sari tanpa mau menyebut sekolah mana yang dimaksud.

Dari hasil temuan itu, Sari menyebut bahwa pengendalian penyakit DBD merupakan tanggung jawab semua pihak. Oleh karenanya dia mengimbau kepada semua masyarakat untuk dapat menerapkan pola hidup sehat.

Sementara itu terkait kebijakan penyemprotan asap pestisida (fogging) ke suatu wilayah, Sari menyebut saat ini banyak wilayah yang melakukan fogging dengan prosedur yang keliru sehingga memilih melakukan fogging tidak resmi.

“Yang banyak terjadi di luar fogging resmi yang dilakukan Dinkes, fogging itu terkadang isinya hanya solar saja, asap tok tanpa pestisida,” kata dia.

Kendati demikian dia menyebut, fogging bukanlah satu-satunya solusi dalam penanggulangan penyebaran penyakit DBD. Fogging hanya mampu memberantas nyamuk-nyamuk dewasa tanpa dapat memberantas jentik telur nyamuknya.

Sementara itu Kepala Hukum dan Humas RSUD Kota Bogor Taufik Rahmat mengatakan, dari 43 warga Kota Bogor yang terkena DBD, terdapat 37 pasien DBD yang menjalani perawatan di RSUD Kota Bogor.

“Sebanyak 37 pasien itu klasifikasinya berbeda. Yang suspect ada 1 orang, DBD 27 orang, DHF 2 orang, dan DSS 7 orang,” katanya.

Dia menjelaskan, sejak Oktober 2018 kemarin, terjadi peningkatan jumlah pasien DBD di RSUD Kota Bogor. Namun begitu, tingkat kenaikan jumlah pasien DBD tertinggi terjadi pada November 2018 dengan jumlah pasien berkisar 40 kasus.

Menurut dia, RSUD Kota Bogor belum kekurangan tenaga medis maupun kebutuhan ruangan pasien DBD yang berobat ke rumah sakit itu. Dia juga menyebut pelayanan pasien DBD tidak memerlukan perawatan khusus dibanding pasien penyakit lainnya.

“Kecuali kalau sudah KLB (Kejadian Luar Biasa) seperti yang pernah terjadi di kami pada 2016. Waktu itu pasien DBD yang rawat inap sampai harus tidur di lorong-lorong rumah sakit karena kehabisan ruangan,” katanya.

Dari data Dinkes Kota Bogor 2018, kasus DBD menjangkit 727 orang warga Kota Bogor di beberapa kelurahan. Antara lain, Kelurahan Kedung Badak 30 kasus, Mekaarwangi 28, Kencana 27, Katulampa 25, Cipaku 23, Tanah Baru 21, Tegal Gundil 21, Pamoyanan 21, Bantarjati 20, Pasir Jaya 19, Baranagsiang 15, Ciparigi 15, Kedungjaya 14, Kedungwaringin 13, Batu Tulis 11, Curug Mekar 10, Rangga Mekar 10, Kertamaya 9, Kayumanis 9, Sindangrasa 17 kasus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement