REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bebasnya ustaz Abu Bakar Ba'asyir menjadi polemik karena berdekatan dengan gelaran pemilihan presiden 2019-2024. Namun, pembebasan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) itu dinilai tidak berpengaruh terhadap pilpres.
Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh Al Chaidar mengatakan, Abu Bakar Ba'asyir cenderung menolak sistem kenegaraan yang dianut di Indonesia.
"Sebenarnya tidak ada pengaruh apapun antara ustad Abu bakar Ba'asyir dengan Pilpres 2019 karena ia lebih memilih nomokrasi Islam ketimbang demokrasi," kata kepada Republika.co.id, Sabtu (19/1).
Senada dengan itu, upaya pembebasan narapidana kasus terorisme itu juga dinilai tidak akan signifikan menaikkan elektabilitas Joko Widodo yang saat ini juga berstatus calon presiden. "Secara politik pembebasan itu tidak akan signifikan mendongkrak perolehan suara umat Islam," kata Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Yusa Djuyandi Sabtu (19/1).
Kendati demikian, pembebasan Abu Bakar Ba'asyir dinilai dapat membangun sentimen positif sebagian kelompok masyarakat terhadap Jokowi yang selama ini dicap mengkriminalisasi ulama. Menurutnya, manuver yang dilakukan Joko Widodo untuk menggandeng umat Islam mulai tampak ketika memutuskan Kiai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden periode 2019-2024 dan menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya.
"Upaya Jokowi dalam melakukan pendekatan kepada kelompok Islam sudah terlihat dari dipilihnya KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres, menunjuk Yusril dan sekarang dengan menyetujui pembebasan Abu Bakar Ba'asyir," ungkapnya.
Yusa mengamati, upaya pembebasan tak bersyarat terhadap Abu Bakar Ba'asyir dilakukan setelah Joko Widodo mendapat berbagai pertimbangan. Salah satunya dari segi usia Abu Bakar Ba'asyir yang menginjak 81 tahun.