REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi fasilitas kesehatan di Gaza memprihatinkan. Selain krisis bahan bakar untuk pasokan listrik di sejumlah rumah sakit, fasilitas penunjang kesehatan lain di Gaza tidak lagi berfungsi dengan baik. Kondisi tersebut dipaparkan Kementerian Kesehatan Palestina kepada ACTNews, Senin (21/1).
Direktur Kerja Sama Internasional Kementerian Kesehatan Palestina, Ashraf Abu Mhadi, menyatakan fasilitas penunjang kesehatan yang tidak mumpuni itu salah satunya terkait kondisi ambulans di Gaza. Sejumlah ambulans rusak saat tragedi Great March of Return. "Sebagian besar mengalami kerusakan parsial, sementara dua di antaranya hancur total. Semua ambulans itu menggunakan armada mobil tua, beberapa berusia 25 tahun," kata Arshaf dikutip dalam laman resmi ACT, Senin (28/1).
Ashraf juga menceritakan jika beberapa waktu silam sejumlah bantuan ambulans pernah didatangkan melalui Mesir. Beberapa ambulans yang masuk melalui perbatasan Mesir dan Gaza itu pun ada yang berasal dari amanah masyarakat Indonesia yang dititipkan lewat Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Namun, hal itu tidak mudah, beberapa kendala administrasi kerap ditemui. Ia menyebut proses perizinan untuk memperoleh ambulans dari Mesir bisa menghabiskan waktu enam bulan bahkan setahun. Bahkan terkadang, proses tersebut begitu sulit sehingga ambulans yang sudah ada di Mesir tidak bisa dibawa ke Gaza.
Keberadaan ambulans di Gaza menjadi sesuatu yang amat krusial. Pasalnya, selain digunakan untuk mengantar pasien umum ke rumah sakit, ambulans di Gaza juga digunakan untuk mengantarkan korban jiwa yang kerap berjatuhan saat aksi-aksi protes masyarakat Gaza terhadap Israel.
Awal 2015 lalu, ACT mencatat masyarakat Indonesia pernah mengirimkan bantuan ambulan ke jalur Gaza dibantu pemerintah dan sejumlah lembaga lainnya. Ashraf pun berharap, masyarakat dunia dapat membantu Palestina dalam ketersediaan ambulans.
Di samping itu, masalah di sektor kesehatan Gaza juga muncul dari pelayanan kesehatan yang tidak layak. Ashraf mengatakan, pelayanan kesehatan di Gaza sedang diambang krisis. Dokter dan perawat di Gaza tidak lagi mendapat gaji secara penuh. Semua tenaga medis hanya dibayar 50 persen dari gaji mereka per bulan.
"Ini adalah skenario terbaik. Sejak lima tahun lalu, tenaga medis di Gaza paling banyak menerima setengah gaji. Kadang mereka hanya dibayar 40-45 persen gaji. Mereka menerima sekitar 1.200 hingga 2.000 shekel, jika dikonversi sebanyak 400-500 dolar AS," kata Ashraf.
Krisis itu disebabkan oleh melemahnya ekonomi dan tingginya harga barang-barang di Gaza. Ashraf memberi gambaran, batas garis kemiskinan di Gaza adalah sekitar 800 dolar per bulan. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setidaknya 80 persen populasi Gaza membutuhkan minimal satu kali bantuan kemanusiaan.
"Para pasien hanya membayar paling banyak sekitar tiga shekel untuk formulir, namun pelayanan kesehatan untuk para pasien sifatnya gratis. Kami bergantung pada donasi. Contohnya jika kami melakukan prosedur operasi jantung, biayanya yang dibutuhkan sekitar 5.000 dolar AS, namun para pasien tidak perlu membayar sepeser pun. Semuanya bergantung pada bantuan kemanusiaan yang dikirimkan ke Gaza," ujarnya.