REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan pemerintah ingin menyelaraskan antara kebutuhan, efisiensi, dan lingkungan terkait dengan industri kelapa sawit. Menurutnya, lingkungan dan kelapa sawit bisa berjalan berbarengan.
"Kita bisa capai dua-duanya, maka dari itu kita perlu dialog, upaya untuk menyelaraskan, sehingga studi berdasarkan fakta bisa jadi permulaan yang baik," kata dia dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (4/2).
Saat ini, menurutnya banyak informasi negatif yang masih simpang siur dan tidak berdasarkan hasil penelitian. Sehingga studi yang akan berisi fakta-fakta terkait kelapa sawit perlu dilanjutkan sebagai pedoman.
Pada hari ini, Satuan Tugas Kelapa Sawit International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyerahkan hasil temuan terkait hubungan kelapa sawit dan keanekaragaman hayati kepada Darmin. IUCN meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk melakukan studi lanjutan.
Kepala Satgas Kelapa Sawit IUCN, Erik Meijaard mengatakan dunia perlu memegang pedoman berdasarkan fakta dan bukan emosional. Menurutnya masih banyak penelitian yang harus dilakukan khususnya tentang bagaimana imbas kelapa sawit ini terhadap tujuan Sustainable Development Goals (SDG).
"Kita ingin melihat apa imbasnya kelapa sawit ini, bisa mengurangi kemiskinan signifikan kah, pengaruh pada lingkungan, keanekaragaman hayati, apa lebih besar keuntungannya untuk SDG atau ada pengorbanan (trade in)," kata dia.
IUCN mengacu pada fakta bahwa pada 2050 dunia masih membutuhkan minyak nabati hingga 310 juta ton. Saat ini minyak kelapa sawit berkontribusi sebesar 35 persen dari total kebutuhan minyak nabati dunia, dengan konsumsi terbesar di India, Cina dan Indonesia.
Adapun proporsi penggunaannya adalah 75 persen untuk industri pangan dan 25 persen untuk industri kosmetik, produk pembersih dan biofuel. IUCN melakukan studi selama sembilan bulan dan rampung pada Juni 2018.
Laporan berupa aalisis obyektif tentang dampak kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati secara global, serta menawarkan solusi untuk pelestarian lingkungan. Hasil studi menyimpulkan bahwa komoditas minyak nabati lainnya membutuhkan lahan sembilan kali lebih besar dibandingkan kelapa sawit.
Dengan demikian, mengganti komoditas kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lainnya, akan secara signifikan meningkatkan total kebutuhan lahan untuk memproduksi minyak nabati non kelapa sawit dalam rangka pemenuhan kebutuhan global atas minyak nabati.
"Jika melihat dampak kerusakan terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh kelapa sawit dengan perspektif global, maka tidak ada solusi yang sederhana," kata Erik.
Separuh dari populasi dunia menggunakan minyak kelapa sawit dalam bentuk makanan, dan jika ini dilarang atau boikot, minyak nabati lainnya akan menggantikan kelapa sawit. Sementara dunia akan membutuhkan lahan yang jauh lebih besar untuk itu.
Ia menegaskan kelapa sawit akan tetap dibutuhkan dan masyarakat global perlu segera mengambil langkah untuk memastikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Sekaligus memastikan keberlangsungan keanekaragaman hayati.