REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Tim pengawas PBB mengatakan Korea Utara (Korut) sedang berusaha memastikan agar nuklir dan rudal balistik mereka tidak dapat dihancurkan oleh serangan militer. Hal itu disebutkan dalam dokumen rahasia tim Pemantau PBB yang akan diajukan ke 15 anggota Dewan Keamanan.
"Menemukan bukti tren yang konsisten dari pihak DPRK (Korut) menyebar lokasi perakitan, penyimpanan, dan pengujian (rudal nuklir)," tulis tim Pemantau PBB tersebut di laporan mereka, Selasa (5/2).
Misi khusus Korea Utara untuk PBB tidak menanggapi permintaan komentar tentang isi laporan tersebut. Laporan itu akan diserahkan ke anggota-anggota Dewan Keamanan pada Jumat (8/2) mendatang.
Sementara itu, pada Rabu (6/2) utusan Amerika Serikat (AS) dan Korut akan meggelar rapat. Rapat tersebut untuk membahas mempersiapkan pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong-un yang kedua.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan utusan khusus AS untuk Korut, Stephen Biegun akan bertemu dengan utusan khusus Korut untuk AS Kim Hyok Chol di Pyongyang. Beigun mengatakan ia berharap pertemuannya dengan Kim Hyok Chol akan memetakan 'satu set hasil konkret' untuk pertemuan Trump dan Kim Jong-un.
"Peta jalan negosiasi dan deklarasi ke depan dan kesepahaman tentang hasil yang diinginkan dalam upaya bersama kami," kata Biegun.
Biegun sempat bertemu dengan pejabat Korea Selatan (Korsel) di Seoul pada Sabtu dan Ahad lalu. Pejabat-pejabat Korsel mengatakan negara mereka dan AS yakin Korut mulai bersedia berkompromi dengan menghancurkan kompleks nuklir Yongbyon.
Langkah tersebut dapat ditanggapi AS dengan mendeklarasikan berakhirnya Perang Korea 1950-1953. Dengan begitu pembangunan kantor penghubung antar-Korea dapat segera dilakukan.
Dalam pertemuan pertama Trump dan Kim Jong-un pada bulan Juni tahun lalu di Singapura menghasilkan kesepakatan denuklirisasi Semenanjung Korea. Kim sepakat untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit untuk mencapai hal tersebut.
Kota pariwisata Vietnam, Danang disebut sebagai tuan rumah pertemuan kedua Trump dan Kim. Pada Kamis pekan lalu Trump mengatakan sudah ada kemajuan signifikan dalam kesepakatan dengan Korut. Tapi dalam pandangan AS, Kim belum mengambil langkah konkrit untuk menyerahkan program nuklirnya.
Korut berkali-kali mengeluh AS tidak banyak melakukan langkah balasan setelah mereka membekukan uji coba rudal dan nuklir mereka serta membongkar beberapa fasilitas nuklir. Korut ingin AS segera mencabut sanksi ekonomi, meresmikan berakhirnya Perang Korea 1950-1953 dan memberikan jaminan keamanan.
Dalam laporan PBB disebutkan sanksi-sanksi yang diberlakukan kepada Korut tidak efektif. Menurut mereka, Korut melanggar resolusi Dewan Keamanan dengan meningkatkan pengiriman dan penerimaan produk minyak dan batu bara secara ilegal.
"Pelanggaran ini membuat sanksi PBB yang terbaru tidak efektif," kata laporan tersebut.
Tim pemantau sanksi PBB mengatakan mereka memiliki bukti Korut pengeriman minyak sebesar 57.600 barel atau senilai 5,7 juta dolar AS. Korut mengatakan tidak akan pernah membongkar fasilitas nuklir mereka kecuali AS memberikan jaminan kemanan.
Sudah lama Korut meminta AS menarik pasukan mereka dari Semenanjung Korea. Perang Korea berakhir dalam perjanjian gencatan senjata bukan perjanjian perdamaian. Maka secara teknis kedua negara tersebut masih berperang.
Amerika Serikat sudah menekankan pasukan mereka tidak menjadi bagian tawar-menawar. Korea Selatan juga mengatakan keberadaan pasukan AS tidak ada hubungannya dengan perjanjian perdamaian di masa depan dan pasukan AS tetap harus bertahan di Korsel meski perjanjian perdamaian sudah ditandatangani.
Pada Senin (3/2), Departemen Luar Negeri AS mengatakan AS dan Korsel 'dalam prinsipnya' sudah sepakat untuk berbagi biaya pasukan AS di Korsel. Stasiun televisi CNN mengutip salah satu pejabat Departemen Luar Negeri AS yang mengatakan Korsel sudah sepakat untuk meningkatkan kontribusi mereka sebesar hampir 1 miliar dolar AS.
Dalam kesepakatan 2014 yang berakhir pada tahun lalu Korsel sepakat untuk membayar 848 juta dolar AS per tahun untuk membiayai 28.500 pasukan AS di Korea Selatan. Kesepakatan kerja sama itu akhirnya diperbaharui setelah negosiasi dilakukan sebanyak 10 kali.