REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimbau para eksportir asal Indonesia untuk lebih meningkatkan kewaspadaannya dalam bertransaksi. Sebab, terjadi peningkatan kejahatan dan penipuan dalam bidang perdagangan internasional yang terjadi dengan berbagai modus dan motif.
Kepala Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) Dubai Heny Rusmiyati mengatakan, guna menghindari kerugian dan kehilangan dana atau pun barang ekspor, diperlukan kewaspadaan serta kehati-hatian para eksportir saat melakukan transaksi dengan mitra dagang.
Menurut Heny, di awal tahun 2019 ini, ditemukan beberapa kasus penipuan ekspor dan impor di wilayah Timur Tengah, khususnya di Persatuan Emirat Arab (PEA). "Korbannya adalah eksportir asal Indonesia," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu (9/2).
Kronologis yang diduga modus penipuan ini biasa diawali dengan oknum pelaku (buyer) membuat inquiry kepada eksportir. Pelaku menerima harga berapapun yang diberikan korban tanpa melakukan penawaran, kemudian memberikan opsi pembayaran berisiko. Yakni, pelaku berjanji akan melakukan pembayaran 100 persen saat barang dikeluarkan dari pelabuhan dan setelah barang dibuka bersama-sama antara kedua pihak.
Beberapa hari sebelum barang tiba di negara tujuan, pelaku akan mengundang korban agar datang ke negara tujuan ekspor untuk membuka barang secara bersama-sama. Dalam kontrak penjualan, pelaku juga berjanji memberikan fasilitas berupa penginapan di hotel berbintang, makan, dan transportasi selama kunjungan.
Setelah korban tiba di negara tujuan, pelaku akan menyambut dan memfasilitasi korban untuk diantar menuju hotel. Kemudian, pelaku mempengaruhi korban untuk segera memberikan dokumen asli pengiriman. Di antaranya Bill of Lading (B/L), secepatnya dengan berbagai alasan untuk keperluan pengeluaran barang dari pelabuhan.
Setelah korban memberikan dokumen pengiriman asli, pelaku berusaha meyakinkan korban untuk tetap tenang dan tinggal di hotel selama beberapa hari sambil menunggu barang tiba. Pada keesokan harinya, pelaku mendadak sulit dihubungi melalui telepon dan kemudian menghilang.
Pada saat itulah, diduga kuat pelaku melakukan penukaran B/L dengan mengganti nama dan alamat pengiriman barang ke calon penadah mereka. Pada akhirnya, pembayaran yang dijanjikan akan diberikan setelah barang tiba dan dicek bersama, tidak pernah ditepati.
Untuk menghindari kejadian serupa, Heny menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pelaku usaha saat bertransaksi. Pertama, memperhatikan legalitas calon buyer dengan memastikan bahwa calon buyer memiliki legalitas yang resmi dan sah. "Jika ada keraguan, eksportir dapat meminta kepada ITPC atau perwakilan Pemerintah RI lainnya dalam melakukan verifikasi lapangan," ucapnya.
Kedua, menggunakan kontrak penjualan untuk mengikat kedua belah pihak dalam memenuhi hak dan kewajibannya serta sebagai dasar dalam upaya penyelesaian masalah.
Selain itu, sebaiknya, menggunakan sistem pembayaran yang aman dengan membiasakan menggunakan sistem pembayaran kegiatan ekspor dan impor dengan metode yang aman, seperti penggunaan Letter of Credit (L/C) atau melalui transfer, dengan disertai uang muka.
Terakhir, menjaga dokumen-dokumen penting dan tidak memberikan dokumen tersebut kepada buyer jika kewajibannya belum terpenuhi.
"Dengan melakukan hal-hal tersebut, diharapkan keamanan dalam bertransaksi dengan buyer akan lebih terjamin dan dapat terhindar dari tindak kejahatan yang modus dan motifnya terus berkembang," ujar Hey.