REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi buta tidak lantas menjadi alasan bagi Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan perintah Allah. Dia tidak pernah mengemis kasihan atas matanya yang telah buta sejak kecil. Keterbatasan yang dimilikinya hanya menambah keimanannya pada Allah dan kesetiaannya dalam Islam.
Dia tetap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, menghafalkan Alquran dan hadis, bahkan berjihad. Tak ayal, Allah memuliakannya. Bahkan, dua surat Alquran secara istimewa turun atas peristiwa yang terjadi padanya.
Setiap menjelang waktu fajar, dia keluar rumah dan bergegas ke masjid. Tak ada yang mampu menghalanginya. Dia akan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang Muslim. Bahkan, bila cara terakhir yang bisa dilakukannya untuk sampai ke masjid adalah dengan merangkak, Ibnu Ummi Maktum tak akan ragu melakukannya.
Pernah pula suatu kali di tengah jalan ka ki nya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Tetapi, tekadnya bulat. Dia tetap melaksanakan shalat berjamaah pergi ke masjid tanpa memedulikan luka di kakinya.
Ibnu Ummi Maktum terkenal peka dengan waktu. Dia bisa mengetahui waktu shalat dengan tepat. Atas keistimewaan itu, dia dipercaya untuk mengumandangkan azan bila Bilal Ibnu Rabah berhalangan. Bahkan, saat Nabi Muhammad dan rom bongannya hijrah ke Madinah, Ibnu Ummi Maktum bertanggung jawab atas hal yang sama di Makkah untuk memastikan kaum Quraisy tegak telinganya mendengarkan perintah shalat.
Ketekunannya untuk shalat di masjid membuat iblis tak rela. Pada suatu Subuh ia bertemu dengan seorang pemuda yang menuntunnya ke masjid selama ber harihari. Tetapi, ketika Ibnu Ummi Maktum hendak berterima kasih kepadanya dengan mendoakannya, si pemuda menolaknya.
“Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan,” jawab sang pemuda. “Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan,” tutur Ibnuu Ummi Maktum kepada pemuda itu.