REPUBLIKA.CO.ID, Akademisi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet ditangkap dan diperiksa oleh tim Siber Bareskrim Mabes Polri, pada Kamis (7/3). Ia ditangkap lantaran aksinya yang menyanyikan plesetan mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat aksi Kamisan di depan Istana Negara, pada 28 Februari lalu.
Kepolisian memastikan Robet sebagai tersangka yang dijerat sejumlah pasal pidana. Yaitu, dianggap melanggar Pasal 45 A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE, juncto Pasal 14 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 207 KUH Pidana.
Juru Bicara Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, pada Kamis (7/3) menyampaikan, sangkaan paling kuat terhadap Robet, dalam Pasal 207 KUH Pidana. “Pasal 207 (KUH Pidana) ini unsurnya paling kuat,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3).
Baca juga, Robertus Robet yang Seharusnya Dilindungi Bukan Ditangkap.
Pasal tersebut menerangkan tentang ancaman penjara selama satu setengah tahun, bagi siapapun yang melakukan penghinaan di depan umum terhadap penguasa atau badan hukum resmi di Indonesia, baik tulisan maupun lisan. Jika menengok aturan tersebut, Robet memang melagukan plesetan ABRI di depan umum saat orasi dalam aksi Kamisan, di kawasan Monumen Nasional (Monas).
Plesetan mars tersebut, berbunyi, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna. Bubarkan saja. Diganti Menwa (Resimen Mahasiswa), atau Pramuka.”
Aksi mars plesetan tersebut, sempat viral di jagat media sosial dan grup-grup WahtsApp. Alasan itu pula yang membuat penyidik, menambahkan Pasal UU ITE dalam sangkaan.
Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Instutite for Criminal Justice Reform (ICJR) menerangkan, penjeratan Pasal 2017 KUH Pidana terhadap Robet, tak berdasar.
Ketua YLBHI Asfinawati (tengah) bersama para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan keterangan pers terkait penangkapan Robertus Robet di gedung YLBHI, Jakarta, Kamis (7/3).
Sekretaris Umum ICJR, Sustira Dirga mengatakan, penerapan pasal tersebut, diwajibkan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyebutkan, penggunaan sangkaan tersebut harus berasal dari adanya pengaduan institusi yang terhina. Karena pasal tersebut, mengandung delik pidana aduan.
“Dengan demikian semestinya jika lembaga kepolisian ataupun TNI yang merasa terhina, seharusnya yang berhak melakukan pengaduan adalah Kapolri atau Panglima TNI sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga-lembaga tersebut,” kata dia dalam rilis resmi, Kamis (7/3).
Lantas siapa yang mengadukan Robertus Robet ke Kepolisian?