Jumat 08 Mar 2019 20:21 WIB

Industri Pertanian Australia Tergantung pada Pekerja Ilegal

Banyak hasil panen tidak bisa dipanen karena ketiadaan pekerja.

Red: Nur Aini
Dilaporkan bahwa pekerja asing bekerja seperti budak di sektor perkebunan Australia.
Foto: ABC
Dilaporkan bahwa pekerja asing bekerja seperti budak di sektor perkebunan Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Industri pertanian di Australia sangat menggantungkan diri kepada para pekerja ilegal. Panen sering kali tidak bisa dilakukan tanpa mereka. Namun, eksploatasi terhadap para pekerja ilegal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di dalam industri pertanian di Australia tersebut.

Demikian sebuah laporan terbaru yang dibuat oleh Universitas Adelaide di Australia Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Joanna Howe itu melakukan survei terhadap lebih dari 330 petani di seluruh Australia, yang menemukan bahwa 40 persen di antara mereka tidak bisa mempekerjakan pekerja legal, karena tidak tersedia.

Baca Juga

Lebih dari 80 petani mengatakan bahwa panenan mereka akhirnya tidak bisa dipetik karena kurangnya tenaga pekerja tersebut.

"Harus ada program migrasi pekerja yang lebih baik, lebih tetap sasaran dan lebih berkesinambungan," kata laporan tersebut.

Dalam reaksinya, Federasi Petani Nasional Australia (NFF) mengatakan laporan tersebut menunjukkan bahwa beberapa petani harus memutuskan pada dua keputusan sulit: membiarkan panenan terlantar atau melanggar hukum.

Melanggar hukum adalah mencari pekerja gelap untuk membantu di pertanian meereka guna membantu memanen.

"Pekerja ilegal memang rawan eksploatasi, bahkan kadang oleh para petani itu sendiri, namun juga lebih sering oleh para calo yang menjadi perantara," kata Direktur Eksekutif NFF Tony Mahar.

"Sebagai industri kami tidak mentolerir sama sekali eksploitasi terhadap para pekerja."

"Namun sebagian besar petani yang tidak mematuhi hukum, kadang melakukannya karena itu adalah satu-satunya pilihan yang ada, karena bila tidak, mereka tidak bisa memanen, dan itu berarti penghasilan setahun hilang."

Federasi Petani Nasional Australia (NFF) kembali mendesak agar pemerintah Australia mengeluarkan visa khusus untuk bidang pertanian. Laporan mengenai dilema yang dihadapi oleh petani Australia hampir bersamaan dengan laporan lain yang dibuat oleh Tim Gugus Kerja Soal Migran yang dibuat oleh pemerintah Australia hari Kamis.

Laporan menyebutkan perusahaan penyalur tenaga kerja 'memiliki masalah sistematis dengan eksploatasi.'

Pemerintah Australia sudah menerima 22 rekomendasi yang diajukan tim gugus kerja tersebut, antara lain perusahaan yang melakukan pelanggaran serius bisa dikenai hukuman penjara.

Asosiasi Jasa Konsultasi dan Rekrutmen (RCSA) yang mewakili perusahaan penyedia jasa di bidang tenaga kerja mengatakan bahwa tingginya permintaan akan pekerja di pertanian membuat para pekerja bisa mengalami pengalaman eksploatasi.

"Realitasnya adalah ada petani yang entah karena tidak tahu, atau karena harus tekanan harga, kemudian menerima siapa saja untuk bekerja tanpa banyak bertanya." kata Direktur Eksekutif RCSA Charles Cameron.

Cameron mengatakan perusahaan yang bagus tidaklah melakukan eksploitasi namun yang sering terjadi adalah para kriminal yang berasal dari luar industri tersebut.

"Kita melihat banyaknya 'gang master' dari negara-negara Asia, yang mencari pekerja yang berasal dari negara mereka sendiri untuk dibawa melakukan pemetik buah dan sayur." katanya.

"Dan ini sangat memprihatinkan, karena mereka tidak berada dalam industri resmi mereka adalah sindikat kriminal." katanya lagi."

Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-03-08/industri-pertanian-australia-sangat-tergantung-pada-pekerja-ile/10882886
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement