REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1258 Masehi, muncul sebuah bencana besar yang menimpa peradaban dan literatur Islam, dengan adanya serbuan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Mereka memorak-porandakan Baghdad. Khalifah dan penduduk ditangkap. Rumah-rumah dibakar. Tak sampai di situ, mereka juga menghancurkan perpustakaan yang sarat dengan manuskrip berharga. Sejarawan Ibnu Khaldun mengungkapkan, manuskrip-manuskrip itu dilemparkan ke Sungai Tigris.
Sebuah legenda muncul, air Sungai Tigris berwarna hitam sekelam tinta pada hari pelemparan buku-buku dari berbagai perpustakaan ke sungai tersebut. Seorang cendekiawan Muslim, Al-Qalqasyandi, menyatakan, semua buku di perpustakaan khalifah hancur.
Semua jejak dan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya pun ikut musnah. Hal serupa juga terjadi di kota-kota Irak lainnya, seperti di Mosul. Beruntung, perpustakaan di Nizamiyah dan Mustansiriya tak ikut dihancurkan sehingga memberikan manfaat besar pada masa selanjutnya.
Sebelum jatuhnya Baghdad, bencana serupa menimpa sejumlah perpustakaan yang ada di wilayah Islam. Di antaranya, pembakaran buku-buku tertentu di Al Hakam, Kordoba, pada abad ke-11. Di Rayy, hal itu terjadi pada 1027 Masehi. Juga, pembakaran buku oleh tentara Salib di Tripoli, Lebanon.
Perpustakaan lainnya yang mengalami nasib serupa adalah Banu Ammar pada 1109 Masehi, Nishapur pada 1153 Masehi, pembakaran Perpustakaan Ghazna pada 1155 Masehi, dan penghancuran Perpustakaan Merv pada 1209 Masehi. Namun, setelah para penguasa Mongol memeluk Islam, kondisi pun berubah.
Mereka memberikan dukungan pengembangan tradisi ilmiah dan penulisan. Pada abad ke-14, misalnya, di Mosul, banyak manuskrip ilmiah yang dihasilkan. Demikian pula, dengan penulisan Alquran. Namun, Irak tak benar-benar pulih seperti sebelumnya.