Senin 25 Mar 2019 09:33 WIB

Larangan Manifesto Penembak di Christchurch Tuai Kontroversi

Selandia Baru melarang penyebaran manifesto pelaku penembakan di Christchurch.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Pimpinan kepolisian Selandia Baru yang juga seorang Muslim Inspektur Naila Hassan saat menyampaikan pidato terkait penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (16/3).
Foto: FACEBOOK/NZ POLICE
Pimpinan kepolisian Selandia Baru yang juga seorang Muslim Inspektur Naila Hassan saat menyampaikan pidato terkait penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DUNEFIN -- Selandia Baru melarang penyebaran manifesto pelaku penembakan dua masjid di Christchurch yang menewaskan 50 muslim. Larangan tersebut dikeluarkan pada Sabtu (23/3).

Siapa pun yang tertangkap memiliki manifesto itu di komputernya dapat menghadapi tuntutan 10 tahun penjara sementara siapa pun yang menyebarnya dituntut 14 tahun penjara. Larangan itu menuai perdebatan di Selandia Baru.

Baca Juga

Banyak yang mengkritiknya karena larangan ini terlalu berlebihan dan berisiko membuat dokumen dan pelaku penembakan menjadi mistik dan terkultuskan. Perdana Menteri Jacinda Ardern telah bersumpah untuk tidak akan menyebut nama pelaku.

Di sisi lain manifesto itu menyediakan gambaran terbaik atas karakter dan cara berpikir pelaku. Karena tetangga dan orang-orang yang bertemu dengannya gym tempat pelaku pernah bekerja mengatakan pelaku adalah orang baik.

Kepala Sensor Selandia Baru David Shanks mengatakan manifesto tersebut berisi justifikasi atas aksi kejamnya membunuh anak-anak dan mendorong orang lain untuk melakukan aksi teror yang sama. Manifesto itu berisi tempat-tempat yang bisa disasar dan metode untuk melakukan serangan.

Dalam dokumen larangan tersebut, Shanks mengatakan mereka khawatir larangan dapat membuat pelaku menarik banyak perhatian. Tapi pada akhirnya mereka memutuskanharus memperlakukan manifesto itu selayaknya propaganda kelompok teror lainnya seperti ISIS. 

Shanks juga sudah melarang kepemilikan dan penyebaran video penembakan berdurasi 17 menit yang dilakukan pelaku penembakan. Ia mengatakan peneliti dan jurnalis dapat mengajukan pengecualian untuk mendapat dua dokumen terlarang tersebut. 

Sementara itu, pembela kebebasan berbicara mengatakan larangan manifesto tersebut terlalu berlebihan. Walaupun mereka tidak mempertanyakan tentang larangan kepemilikan dan penyebaran video.

"Orang akan lebih percaya satu sama lain dan pemimpin mereka ketika tidak ada ruang untuk konspirasi teori, tidak ada yang disembunyikan," kata juru bicara Free Speech Coalition dan pengacara konstitusi Stephen Franks, Senin (25/3).

"Kerusakan dan risiko yang disebabkan tekanan ini akan jauh lebih besar daripada mempercayai masyarakat untuk membuat kesimpulan dan melihat kebiadapan dan kegilaan itu sendiri," tambahnya. 

Frank mengatakan ia tidak tertarik untuk membaca manifesto tersebut sebelum dilarang. Sekarang justru ia penasaran. Frank mengatakan manifesto itu menjadi seperti 'buah terlarang'. Ia khawatir banyak orang yang merasakan hal yang sama seperti dia.

Frank mengatakan larangan tersebut tidak masuk akal karena sementara di sisi lain warga Selandia Baru dapat dengan bebas membeli buku Adolf Hitler Mein Kampf. Sebelumnya pada pekan lalu Ardern mengatakan ia tidak akan memberikan apa yang pelaku inginkan.

"Ia mencari banyak hal dari tindakan terornya, salah satunya menjadi terkenal, itulah mengapa Anda tidak akan mendengar saya menyebut namanya," kata Ardern.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement