Senin 25 Mar 2019 16:19 WIB

KPU Catat 796.401 Pemilih Pindahan untuk Pemilu 2019

Jumlah pemilih pindahan tersebar di seluruh Indonesia.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Komisioner KPU Jombang, Abdul Wadud Burhan Abadi, menunjukan jumlah Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) usai rapat pleno terbuka di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (20/3/2019).
Foto: Antara/Syaiful Arif
[ilustrasi] Komisioner KPU Jombang, Abdul Wadud Burhan Abadi, menunjukan jumlah Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) usai rapat pleno terbuka di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (20/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan, mengatakan, ada lebih dari 700 ribu pemilih berstatus pindahan dalam Pemilu 2019. Jumlah ini berdasarkan rekapitulasi terakhir terhadap data pemilih tetap tambahan (DPTb) Pemilu 2019.

"Jumlah DPTb secara nasional pascarekapitulasi oleh KPU RI sebanyak 796.401 pemilih. Jumlah ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia," ujar Viryan kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/3).

Dia melanjutkan, jumlah ini merupakan hasil rangkuman data DPTb dari sejumlah daerah. Rekapitulasi ini dilakukan pada akhir pekan lalu.

Seluruh data DPTb tersebut dihitung dari jumlah pemilih sudah mengurus dokumen A5 atau formulir pindah memilih hingga 17 Maret 2019. Setelah 17 Maret, KPU sudah mengakhiri masa pelayanan pindah memilih kepada masyarakat yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya di daerah asal pada 17 April nanti.

Meski demikian, Viryan mengakui, masih banyak penduduk yang belum selesai mengurus dokumen pindah memilih setelah masa pelayanan ditutup. Namun, KPU tetap tidak bisa memberikan pelayanan kepada mereka.

Sebab, berdasarkan pasal 210 ayat (1) UU Pemilu Nomor 1 Tahun 2017, masa mengurus pindah memilih diizinkan hanya sampai H-30 hari sebelum pemungutan suara pemilu. Pasal tersebut saat ini sedang dalam masa uji materi di MK.

"Sehingga bisa dikatakan sekarang MK menjadi pintu terakhir yang bisa kami harapkan dalam rangka menjaga pemilu agar tetap memberikan pelayanan optimal bagi warga negara sekaligus memenuhi konstitusionalitas pemilu itu sendiri. Kami bisa mengatakan saat ini sedang masa SOS hak pilih," ungkap Viryan.

KPU mengakui, ada kekhawatiran terhadap kondisi saat ini. KPU berharap MK bisa segera memutuskan perkara uji materi tentang aturan pindah memilih.

"Berdasarkan rekapitulasi DPTb tadi, kemungkinan penambahan tergantung dari putusan MK. Aabila MK mengabulkan terkait pasal 210 ayat (1) KPU pasti akan memberikan kembali layanan pindah memilih bagi masyarakat. Sebaliknya, kalau misalnya tidak diputuskan, pemilih tersebut tidak bisa (menggunakan hak pilihnya) atau tetap bisa memilih tapi harus di daerah asalnya, " tegas Viryan.

Sebelumnya, dua mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Keduanya adalah Joni Iskandar sebagai pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai pemohon II. Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatra Selatan. Dia tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya. Akibatnya, Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.

Sementara Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Roni sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Kemudian dia telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor. Namun, Roni khawatir tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara. Roni pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu. Dia hanya mendapatkan satu surat suara yakni untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Kedua mahasiswa ini pun berpandangan bahwa aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Selain itu, pihak lain yang melakukan uji materi terhadap UU Pemilu adalah Perludem, Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay, Direktur Pusako Universitas Andalas Fery Amsari, warga binaan Augus Hendy dan A. Murogi Bin Sabar serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.

Para pemohon ini menguji pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal ini dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement