REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan eksekusi terhadap terpidana kasus suap proyek PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih pada Selasa (26/3) kemarin lusa. Diketahui, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI itu dijatuhi pidana penjara 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, serta pencabutan hak politik selama 3 tahun.
"Terpidana dieksekusi ke Lapas Klas II B Anak Wanita, Tangerang pada hari Selasa, 26 Maret 2019," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Kamis (28/3).
Febri menuturkan, eksekusi dilakukan karena putusan terhadap Politisi Golkar itu telah berkekuatan hukum di tingkat Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dan sejak KPK dan pihak terdakwa tidak mengajukan upaya hukum. Dalam hal ini, KPK memandang hukuman yang dijatuhkan hakim telah cukup proporsional dan Eni juga sudah mengembalikan uang yang diterima pada proses penyidikan ataupun persidangan.
Febri menambahkan, KPK juga masih terus mencermati dugaan keterlibatan dan peran pihak lain dalam perkara ini. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakpus menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidier dua bulan kurungan kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp5,087 miliar dan 40 ribu dollar Singapura.
Eni Saragih terbukti bersalah karena menerima uang suap sebesar Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1. Selain itu, Eni juga terbukti telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha.
Suap yang diterima Eni tersebut agar membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo. Eni juga berperan aktif mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Selain itu, Eni juga dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Sebagian besar uang tersebut diberikan oleh pengusaha di bidang minyak dan gas. Menurut jaksa, sebagian uang tersebut digunakan Eni untuk membiayai kegiatan partai. Selain itu, untuk membiayai keperluan suaminya yang mengikuti pemilihan bupati di Temanggung.
Adapun, selain pidana penjara, hakim juga mencabut hak politik Eni selama tiga tahun. Pencabutan hak politik ini wajib dilakukan Eni setelah menjalani masa pidana pokok.