REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Tiga aktivis perempuan Arab Saudi dibebaskan sementara. Pihak berwenang negara itu mengatakan pengadilan kriminal di Ibu Kota Royadh telah memberikan penangguhan hukuman penjara untuk mereka, namun tidak menyebutkan lebih rinci mengenai hal itu.
Pengadilan tidak memberikan identitas masing-masing aktivis perempuan yang dibebaskan begitu pula waktu yang ditentukan untuk pembebasan tersebut.
Mengutip New York Times, eski pembebasan itu diartikan positif oleh banyak kelompok hak asasi manusia, namun otoritas Arab Saudi mengingatkan bahwa dakwaan terhadap ketiga aktivis perempuan itu tetap berlaku.
Terdapat beberapa terdakwa lainnya yang juga diindikasikan dapat dibebaskan dalam beberapa hari depan, bahkan saat persidangan mereka berlangsung.
Kelompok hak asasi manusia ALQST mengidentifikasi tiga perempuan yang dibebaskan sementara adalah Rokaya Mohareb, Aziza al-Youssef, dan Eman al-Nafjan.
Setidaknya ada 11 tokoh aktivis perempuan yang ditangkap sejak Mei tahun lalu. Banyak dari mereka yang berkampanye untuk memperluas kebebasan bagi kaum Hawa di Arab Saudi.
Dalam dakwaan, jaksa penuntut umum mengatakan sejumlah aktivis perempuan itu ditangkap dengan tuduhan merugikan kepentingan negara dan memberi dukungan kepada musuh-musuh negara.
Mereka disebut sebagai pengkhianat dan agen asing, bahkan diyakini telah melakukan kontak tidak sah dengan jurnalis dan diplomat asing.
Meski demikian, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan para aktivis perempuan itu diadili karena aktivitas mereka. Puluhan negara telah menyampaikan kritik keras terhadap Pemerintah Arab Saudi dan menyerukan pembebasan.
Sejumlah pendukung aktivis perempuan itu mengatakan tekanan internasional tampaknya telah mempengaruhi Pemerintah Arab Saudi. Namun, penanganan kasus mereka tidak dapat diprediksi.
“Sementara mereka telah dibebaskan, pengadilan palsu mereka masih berlangsung. Kami benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan pihak berwenang selanjutnya,” ujar peneliti Human Rights Watch, Rothna Begum, dilansir //New York Times//, Senin (1/4).
Sebelumnya, kelompok hak asasi manusia pernah melaporkan mereka mengalami penyiksaan selama hampir satu tahun dalam tahanan pihak berwenang Arab Saudi. Para aktivis perempuan itu disebut ditahan dalam sel isolasi selama berbulan-bulan.
Kemudian, mereka disiksa menggunakan sengatan listrik dan cambuk, bahkan waterboarding atau kepala dibenamkan ke dalam air untuk memberikan efek tenggelam. Tak hanya itu, para aktivis perempuan ini juga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.
Direktur ALQST, Yahya Assiri, mengatakan penangkapan aktivis di Arab Saudi dilakukan sebelum pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan di negara itu dilakukan.
Selain itu, para aktivis yang ditahan juga mendukung hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga dan mendesak para pemimpin kerajaan untuk menghapus sistem perwalian yang mengharuskan perempuan untuk mendapatkan izin dari wali laki-laki, seperti suami, ayah, saudara laki-laki atau laki-laki, untuk belajar, bekerja, dan bepergian.
Aktivisme perempuan itu terjadi di tengah kekuasaan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS). MBS dianggap sebagai sosok yang mengkonsolidasikan kekuasaan, dengan bergerak melawan para kritikus serta rival yang dianggap potensial.
Meski Mohammed dianggap telah melakukan sejumlah reformasi modern untuk Arab Saudi, seperti dalam memperluas beberapa hak kebebasan bagi perempuan, namun beberapa kalangan menafsirkan tidak demikian. Bahkan penangkapan aktivis di negara itu dinilai memiliki pesan dari Sang Pangeran bahwa perubahan datang dari atas, bukan dari bawah.
Mohammed juga menjadi sorotan dunia dalam kasus pembunuhan jurnalis asal Arab SaudiJamal Khashoggi pada Oktober tahun lalu. Khashoggi selama ini dianggap sebagai kritikus terhadap pemerintah negara kerajaan itu.
Khashoggi tewas sesaat setelah dia memasuki Konsulat Arab Saudi di istanbul, Turki. Sejumlah pihak, termasuk agen-agen intelijen Amerika Serikat (AS) menyimpulkan, Mohammed telah memerintahkan kematiannya.