REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar pertengahan abad ke-8, muncul temuan penting pada proses produksi keramik oleh perajin Muslim, yakni dekorasi di bawah lapisan. Keramik bernilai tinggi menghasilkan permukaan ideal untuk lukisan oksida metalik yang diberi aneka warna menarik.
Teknik pewarnaan berbahan kimiawi merupakan prestasi tersendiri dari kaum Muslim. Permukaan yang dilukis lantas ditutup lapisan alkalin transparan. Ini untuk melindungi permukaan lukisan pada keramik, meski tidak memunculkan efek pigmen selama pembakaran.
Kontribusi penting lainnya adalah penemuan teknik menatah. Di sini, objek monokrom, umumnya terbuat dari kuningan atau perunggu, dilapisi tatahan emas, perak, atau tembaga. Sedangkan objek lain semisal baskom besar, ditatah dengan inkripsi dan tampilan figural. Metode itu dikerjakan dengan perak maupun substansi batu bara hitam,” jelas Esposito.
Pada buku Islamic Art and Architecture, Jonathan Bloom dan Sheila Blair, menyatakan, alkalin menjadi elemen penting pada proses pembuatan bahan berwarna. Bahan itu dapat memunculkan efek berkilau pada permukaan keramik atau tembikar. Adapun zat campurannya bisa terdiri dari soda, potasium, maupun garam.
Timah cair, lanjut kedua sejarawan itu, menjadi temuan lain yang luar biasa, terutama untuk menjaga warna tidak pudar. Para perajin Muslim di Algarve, Spanyol selatan, berjasa besar dalam pemakaian bahan tadi untuk kemudian tersebar luas di dunia Islam.
Sedangkan tembaga yang banyak ditambang di Persia, Aljazair, serta Transaksonia, setelah melalui proses kimiawi, mampu memperkuat elemen warna hijau. Bahan tambang lain, kobalt, sangat penting untuk efek warna biru safir di lapisan permukaan alkalin.
Para perajin membuat sendiri bahan-bahan pewarna itu berdasarkan ide dan kreativitas masing-masing. Sebuah manuskrip yang ditulis perajin kondang asal Persia, Abu'l Qasim (1303), berisi kumpulan teknik pewarnaan di beberapa wilayah Islam dan menjadi rujukan penting di bidang seni budaya klasik.