REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai Para Penghuni Gua (Ashab al-Kahfi), yang dinarasikan dalam Surah al-Kahf ayat 9–26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi dan/atau kapan peristiwa yang dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi.
Kalangan sejarawan yang mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus). Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat—sekitar tiga kilometer Distrik Selçuk, Provinsi Izmir, Turki.
Tentang daerah atau gua yang menjadi tempat tinggal Ashab al-Kahfi memang masih kontroversi. Selain di sekitar Selçuk, ada pula Gua Eshab-ı Kehf, yang kini sebuah destinasi wisata di wilayah utara Kota Tarsus, Provinsi Mersin. Kemudian, Gua Eshab-ı Kehf Kulliye (Kompleks Utsmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras. Pemerintah setempat pada 2015 lalu sudah mendaftarkan kompleks di Afsin tersebut ke UNESCO untuk menjadi kandidat Warisan Peradaban Dunia.
Ashab al-Kahfi merujuk pada tujuh orang pemuda dan seekor anjing yang—atas izin Allah SWT—tidur di dalam gua selama ratusan tahun, yakni 300 tahun syamsiah atau 309 tahun kamariah.
Buku Ensiklopedi Islam mengungkapkan, penamaan ashab al-kahfi terdapat dalam ayat ke-9 Surah al-Kahf, sedangkan kata al-kahfi/kahfi ditemukan pada ayat-ayat ke-10, 11, 16, 17, dan 25 surah yang sama. Nuansa kisahnya adalah pertentangan antara kebenaran dan kebatilan; antara keteguhan bertauhid dan kezaliman penguasa yang musyrik.
Penguasa yang dimaksud adalah Gaius Messius Quintus Decius. Dia menjadi kaisar Romawi pada 249-251. Sejak zaman Kaisar Nero (54-58), orang-orang yang meyakini kebenaran risalah Nabi Isa AS kerap menjadi sasaran kekerasan. Bahkan, banyak yang dipaksa menjadi umpan singa di arena gladiator, yang dibuat semata-mata untuk hiburan penguasa dan warga Roma.
Pada zaman Decius, persekusi atas kaum Nasrani mulai berlangsung terstruktur dan sistematis.
Pada Januari 250, kaisar yang lahir di Budalia (kini Serbia) itu menginstruksikan setiap warga agar menyembah berhala. Peribadatan harus disaksikan aparat negara, sehingga rakyat dibayang-bayangi ketakutan. Siapapun yang menentang aturan itu diperintahkannya untuk ditangkap dan, bila perlu, dibunuh.
Bagaimanapun, tidak sedikit orang beriman yang menolaknya. Meskipun intimidasi terus digencarkan Decius dan jajarannya, mereka tidak gentar sedikit pun dan semakin solid melawan.
(bersambung)